Di era digital yang serba cepat ini, informasi menyebar dengan begitu mudahnya. Namun, kemudahan ini juga membawa serta tantangan baru, yaitu maraknya misinformasi dan disinformasi. Keduanya, meski tampak serupa, memiliki perbedaan mendasar yang perlu dipahami.
Misinformasi adalah informasi yang salah, namun tidak ada niatan untuk menyesatkan. Contohnya, seseorang yang salah mengira suatu berita sebagai fakta dan membagikannya di media sosial. Sementara itu, disinformasi adalah informasi yang salah dan sengaja disebarkan untuk menyesatkan atau memanipulasi publik.
Salah satu kekuatan destruktif yang paling berbahaya adalah kebohongan yang diulang-ulang. Fenomena ini dikenal sebagai illusory truth effect. Sederhananya, semakin sering kita mendengar suatu kebohongan, semakin besar kemungkinan kita mempercayainya, meskipun pada awalnya kita ragu.
Otak kita cenderung mencari pola dan familiaritas. Kebohongan yang diulang-ulang menjadi familiar, sehingga otak kita lebih mudah menerimanya sebagai kebenaran. Akibatnya, kebohongan ini dapat membentuk opini publik yang salah, memicu polarisasi, dan bahkan konflik sosial.
Sejarah mencatat banyak contoh tentang bagaimana kebohongan yang diulang-ulang dapat menimbulkan kerusakan yang parah. Salah satu yang paling terkenal adalah propaganda Nazi di Jerman.
Nazi menggunakan berbagai cara untuk menyebarkan kebohongan tentang orang Yahudi, mulai dari media massa hingga pendidikan. Kebohongan ini diulang-ulang tanpa henti, sehingga akhirnya banyak orang Jerman yang mempercayainya. Akibatnya, jutaan orang Yahudi menjadi korban genosida.
Efek dari propaganda Nazi ini masih terasa hingga saat ini. Sentimen anti-Semit masih ada di berbagai belahan dunia, dan trauma akibat Holocaust masih membekas di hati para penyintas dan keturunannya.
Selain itu, di Indonesia, etnis Tionghoa juga sering menjadi kambing hitam, baik pada masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, orang-orang Tionghoa sering dianggap sebagai kelompok yang “asing” dan tidak loyal kepada bangsa Indonesia. Perlu diketahui bahwa anggapan ini adalah disinformasi yang sengaja disebarkan oleh Belanda melalui politik “devide et impera” (pecah belah dan kuasai). Belanda menciptakan stigma bahwa etnis Tionghoa hanya mementingkan kepentingan ekonomi mereka sendiri dan tidak loyal kepada Indonesia untuk mencegah solidaritas antar etnis dalam melawan penjajah.
Stereotip ini terus berlanjut hingga setelah kemerdekaan, di mana orang-orang Tionghoa sering dituduh sebagai “komunis” atau “antek asing”. Salah satu contoh yang paling tragis adalah kerusuhan Mei 1998, di mana orang-orang Tionghoa menjadi sasaran kekerasan dan diskriminasi. Banyak toko dan rumah mereka yang dijarah dan dibakar, pemerkosaan, dan tidak sedikit yang menjadi korban jiwa.
Penting untuk diingat bahwa etnis Tionghoa memiliki peran yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Banyak tokoh Tionghoa yang terlibat aktif dalam organisasi pergerakan nasional, bahkan ada yang berjuang mengangkat senjata melawan penjajah. Setelah kemerdekaan, etnis Tionghoa juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia.
Beberapa contoh tokoh Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia antara lain:
Di era modern, misinformasi dan disinformasi juga menjadi masalah yang serius. Contohnya, saat pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, banyak sekali berita palsu yang beredar di media sosial. Berita palsu ini sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik dan memenangkan salah satu kandidat.
Untuk melawan misinformasi dan disinformasi, kita perlu meningkatkan literasi informasi. Literasi informasi adalah kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Dengan literasi informasi yang baik, kita bisa lebih kritis terhadap informasi yang kita terima dan tidak mudah termakan oleh kebohongan.
Selain itu, kita juga perlu mendukung jurnalisme berkualitas. Jurnalisme yang baik akan selalu berusaha untuk mencari kebenaran dan menyajikan informasi yang akurat. Dengan mendukung jurnalisme berkualitas, kita bisa membantu mengurangi penyebaran misinformasi dan disinformasi.
Misinformasi dan disinformasi adalah masalah yang serius dan dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Kebohongan yang diulang-ulang memiliki kekuatan destruktif yang sangat besar. Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan literasi informasi dan mendukung jurnalisme berkualitas untuk melawan penyebaran misinformasi dan disinformasi.
Mari bersama-sama menciptakan ruang informasi yang sehat dan bebas dari kebohongan! Kamu juga bisa berperan dengan tidak meneruskan informasi yang salah dan ikut serta mengoreksi informasi yang tidak benar yang beredar di sekitarmu. Dengan begitu, kita semua turut andil dalam membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam menerima informasi.