Ketika kita membicarakan “paru-paru dunia,” hampir selalu yang terbayang adalah hutan tropis seperti Amazon. Penanaman pohon menjadi simbol utama penyelamatan lingkungan. Namun, ada satu fakta penting yang jarang disadari: justru lautanlah yang menghasilkan sebagian besar oksigen yang kita hirup dan menyerap karbon dalam skala yang jauh lebih besar daripada hutan. Paradigma ini perlu digeser agar kita bisa melihat planet ini secara lebih utuh.
Lautan menutupi lebih dari 70% permukaan Bumi dan menyimpan sekitar 93% karbon dioksida yang terserap dari atmosfer. Ia bukan hanya habitat bagi paus dan terumbu karang, tetapi juga mesin pengatur iklim global. Laut menyerap panas, mengatur pola cuaca, dan menjadi tempat berlangsungnya proses biologis yang sangat penting—termasuk produksi oksigen dan penyerapan karbon.
Namun, siapa sebenarnya yang menjalankan fungsi vital ini di dalam laut?
Inilah para pahlawan yang tersembunyi di balik napas kita: fitoplankton, si mikroorganisme yang menopang atmosfer. Meski hanya berukuran sekitar 2 hingga 200 mikrometer (0,002–0,2 mm)—sebagian besar lebih kecil dari sehelai rambut manusia yang rata-rata berdiameter sekitar 70 mikrometer—fitoplankton memiliki dampak planetaris, dampak yang sangat-sangat besar (global): mereka mengatur udara yang kita hirup, suhu yang kita rasakan, dan pangan yang kita makan.
Beberapa kelompok fitoplankton seperti coccolithophores bahkan menyimpan karbon dalam bentuk kalsium karbonat, yang kemudian mengendap di dasar laut melalui carbonate pump—menyimpan karbon selama ribuan tahun.
Namun, perubahan iklim mengancam mereka. Pemanasan laut, pengasaman, dan stratifikasi air menghambat pertumbuhan fitoplankton, yang berarti penurunan populasi mereka bisa berdampak langsung pada ketersediaan oksigen dan efektivitas penyerapan karbon.
Selain fitoplankton, rumput laut, lamun, dan ganggang besar seperti kelp juga memainkan peran penting dalam menyerap karbon dan menghasilkan oksigen. Mereka tumbuh cepat, tidak membutuhkan pupuk atau air tawar, dan menyimpan karbon dalam biomassa serta sedimen laut.
Indonesia sendiri menyumbang sekitar 38% pasokan rumput laut dunia, namun baru memanfaatkan sekitar 11% dari total potensi lahannya. Ini adalah peluang besar untuk mengembangkan solusi iklim berbasis laut yang juga menguntungkan ekonomi pesisir.
Selain peran atmosferiknya, fitoplankton dan rumput laut juga menjadi fondasi biologis bagi kehidupan laut. Mereka bukan hanya penyelamat iklim, tetapi juga penjaga rantai makanan dan keanekaragaman hayati.
Sebagai produsen primer, fitoplankton menjadi makanan utama bagi zooplankton, larva ikan, ikan kecil, hingga spesies komersial seperti sarden dan ikan teri. Tanpa mereka, rantai makanan laut bisa runtuh dari bawah—dan dampaknya juga akan dirasakan manusia.
Di berbagai wilayah pesisir Indonesia seperti teluk dan muara sungai, kelimpahan fitoplankton sangat menentukan populasi ikan. Wilayah ini dikenal sebagai perairan estuari—zona peralihan di mana air tawar dari sungai bercampur dengan air asin dari laut. Kaya nutrien dan bervariasi kadar garamnya, estuari menjadi ekosistem produktif tempat berkembang biaknya berbagai jenis ikan dan udang.
Sementara itu, rumput laut dan lamun membentuk “hutan bawah laut” yang penting bagi ekosistem pesisir. Struktur rimbunnya menyediakan tempat berlindung, area pemijahan, serta ruang tumbuh bagi ikan kecil, udang, moluska, hingga spesies pemangsa.
Keberadaan habitat ini menjaga keseimbangan rantai trofik (alur makan) dan memperkaya keanekaragaman hayati laut. Maka kerusakan rumput laut bukan hanya mengganggu keseimbangan ekologi, tetapi juga mengancam sumber pangan manusia yang bergantung pada perikanan.
Sayangnya, lautan kini berada dalam tekanan besar. Pemanasan global, pencemaran, pengasaman laut, dan eksploitasi berlebihan menyebabkan penurunan drastis kadar oksigen di laut selama 50 tahun terakhir. Area laut dengan kadar oksigen rendah telah meningkat lebih dari 4 juta km² sejak 1960-an.
Diperkirakan, lebih dari 70% lautan akan mengalami deoksigenasi pada 2080, yang berarti kemampuan laut untuk menghasilkan oksigen dan menyerap karbon—serta menopang kehidupan laut—akan terganggu secara serius. Ini bukan hanya krisis ekologis, tetapi juga krisis peradaban.
Menanam pohon tetap penting. Tapi melindungi laut adalah kunci yang sering terlupakan dalam menyelamatkan planet ini. Laut bukan hanya penyimpan karbon dan penghasil oksigen, tapi juga pengatur suhu, pengganda keanekaragaman hayati, dan penyedia pangan dunia.
Lain kali kamu menarik napas dalam-dalam, ingat: itu bukan hanya hasil kerja pohon. Itu juga hasil kerja laut. Terima kasih, lautan.