Bayangkan ini: ribuan investor di Indonesia kehilangan dana hingga Rp 2,75 triliun akibat kasus gagal bayar dan dugaan penipuan investasi yang melibatkan platform fintech lending Investree. Mantan CEO-nya, Adrian Gunadi, bahkan sempat menjadi buronan internasional sebelum akhirnya ditangkap di Doha, Qatar, pada 2025.
Kasus ini hanyalah puncak gunung es. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kerugian masyarakat akibat investasi ilegal sejak 2017 hingga 2023 mencapai lebih dari Rp 139,6 triliun. Yang lebih mencengangkan, mayoritas korban berasal dari kelompok usia muda (19 hingga 34 tahun) yang sebenarnya melek teknologi — ironisnya justru menjadi target empuk penipuan digital.
Lalu pertanyaannya: mengapa di era informasi yang serbaterbuka ini, masih begitu banyak orang yang terjebak? Bukankah kasus-kasus seperti ini sudah berulang kali terbongkar, berulang kali diliput media, bahkan berulang kali diperingatkan oleh otoritas? Ironisnya, meski pola penipuannya kerap sama, korban baru terus bermunculan. Inilah kontradiksi pahit yang menunjukkan betapa seriusnya ancaman investasi bodong di tengah masyarakat kita.
Penipuan investasi bukanlah hal baru. Sejak awal abad ke-20, skema Ponzi sudah menjerat ribuan orang dengan janji keuntungan cepat. Bedanya, dulu butuh waktu bertahun-tahun hingga skema itu runtuh. Kini, dengan bantuan teknologi digital, penipu bisa mengumpulkan ratusan miliar hanya dalam hitungan minggu.
Dari Ponzi ke aplikasi digital.
Jika dulu penipu hanya mengandalkan jaringan dari mulut ke mulut, kini mereka memanfaatkan aplikasi dan platform daring. Aplikasi palsu menampilkan saldo yang terus bertambah, grafik hijau yang seolah bergerak real-time, dan notifikasi “profit masuk” setiap hari. Padahal, semua hanyalah angka di layar — ibarat uang monopoli yang nilainya hanya berlaku di papan permainan, bukan di dunia nyata.
Bahasa baru, wajah lama.
Janji bunga tetap kini diganti jargon futuristik: robot trading AI, mining kripto, tokenisasi aset digital. Kata-kata ini terdengar modern, bahkan ilmiah, sehingga menipu logika korban. Banyak orang memilih percaya daripada terlihat “kurang pintar” karena tidak mengerti istilah teknis. Padahal, substansinya sama: tidak ada model bisnis nyata yang menghasilkan keuntungan sebesar itu.
Kemampuan meniru yang menyesatkan.
Website dan aplikasi resmi direplikasi dengan detail nyaris sempurna — logo, tampilan, bahkan layanan pelanggan. Beberapa bahkan menyediakan “customer service” palsu yang ramah dan responsif. Korban merasa aman, padahal mereka sedang berinteraksi dengan sistem yang sepenuhnya dikendalikan penipu.
Perubahan ini membuat penipuan semakin berbahaya. Kecepatan, jargon modern, dan kemasan profesional menjadikan jebakan tampak sahih di mata korban, bahkan bagi mereka yang merasa sudah cukup cerdas dan berhati-hati.
Jika dulu penipu hanya menawarkan bunga tinggi, kini mereka membangun cerita. Prosesnya mirip sebuah drama yang disusun dengan cermat, lengkap dengan panggung, aktor, dan naskah.
Panggung awal di media sosial.
Instagram dan TikTok dipenuhi “influencer finansial” yang memamerkan mobil mewah, liburan eksotis, dan gaya hidup glamor. Mereka berkata, “Semua ini berkat investasi pintar.” Rasa penasaran pun muncul, dan calon korban mulai mengikuti. Strategi ini sengaja menyalakan rasa iri dan FOMO: kalau mereka bisa, kenapa saya tidak?
Ilusi komunitas yang ramai.
Langkah berikutnya adalah mengajak korban masuk ke grup WhatsApp atau Telegram. Di sana, percakapan tampak hidup: ada yang bertanya, ada yang menjawab, ada yang mengunggah “bukti transfer”. Padahal sebagian besar akun hanyalah bot atau boneka. Bahkan ada yang berperan sebagai pemula, ada yang berperan sebagai senior, semua untuk menciptakan drama sosial yang meyakinkan.
Pelatihan dan pendampingan yang menjerat.
Untuk memperkuat rasa percaya, penipu sering mengadakan sesi pelatihan khusus, lengkap dengan jadwal rutin dan pendampingan “mentor”. Pemula diarahkan untuk mengikuti bimbingan live trading, bahkan diminta menyalin langkah-langkah yang dilakukan mentor agar “terhindar dari risiko rugi”. Suasana dibuat seolah penuh perhatian: ada peringatan untuk berhati-hati, ada nasihat agar tidak gegabah, dan ada kesan bahwa mentor benar-benar peduli pada keberhasilan peserta.
Namun, justru di sesi live yang meyakinkan inilah jebakan dipasang. Investor didorong untuk melakukan top up dengan alasan agar profit lebih terasa, atau supaya bisa ikut strategi “premium” yang konon lebih aman. Banyak orang akhirnya tergoda, merasa sedang dilindungi, padahal akal sehat mereka perlahan dimatikan oleh atmosfer kebersamaan dan otoritas palsu sang mentor.
Narasi teknis dan bukti palsu.
Untuk memperkuat keyakinan, penipu menggunakan istilah teknis seperti arbitrage opportunity atau early adopter advantage. Mereka menampilkan dashboard palsu dengan grafik profit yang terus naik. Grafik ini sering dibuat seolah-olah real-time update, padahal hanyalah animasi statis atau data manipulatif yang diprogram sebelumnya. Bahkan “bukti transfer” yang beredar di grup sering hasil edit sederhana. Semua ini menciptakan kesan bahwa keuntungan sedang berlangsung saat itu juga, sehingga korban merasa harus segera ikut agar tidak ketinggalan.
Dengan alur yang rapi ini, korban merasa sedang membuat keputusan cerdas. Padahal, semua hanyalah panggung sandiwara yang dirancang untuk menggiring mereka ke jurang.
Banyak orang bertanya: mengapa korban penipuan sering orang cerdas, bahkan berpendidikan tinggi? Jawabannya ada pada psikologi manusia. Penipu tidak hanya bermain di ranah finansial, tetapi juga di ranah emosi dan bias kognitif.
Bias kognitif yang menjerat.
Begitu seseorang percaya pada sebuah investasi, confirmation bias membuatnya hanya mencari bukti yang mendukung. Artikel peringatan dianggap “hoaks”, sementara testimoni sukses dianggap bukti. Overconfidence effect membuat banyak orang yakin bisa keluar sebelum terlambat. Herding behavior membuat mereka merasa aman karena banyak orang lain ikut. Bahkan sunk cost fallacy membuat korban yang sudah setor Rp 10 juta lebih mudah menambah Rp 5 juta lagi, karena enggan mengakui kerugian.
Tekanan sosial yang memperkuat jebakan.
Keramaian itu seringkali palsu — diciptakan oleh bot atau akun boneka. Ditambah lagi tekanan sosial di era media sosial: semua orang ingin terlihat sukses, ingin pamer gaya hidup mewah. Penipu tahu betul cara memainkan emosi ini, menjanjikan jalan pintas menuju status sosial yang diidamkan. Banyak korban takut dianggap “tidak visioner” jika menolak tawaran, sehingga mereka ikut demi menjaga citra sosial.
Profil korban yang beragam.
Generasi muda terjebak antara FOMO dan literasi finansial terbatas. Pensiunan mencari passive income untuk masa tua. Ibu rumah tangga ingin financial independence. Profesional muda tertekan oleh gaya hidup mewah. Bahkan orang dengan latar belakang finansial bisa tertipu jika sedang berada dalam kondisi emosional tertentu. Semua punya celah psikologis yang bisa dieksploitasi.
Memahami bias dan tekanan ini adalah langkah pertama untuk melawan. Seringkali, jeda kecil sebelum mengambil keputusan sudah cukup untuk menyelamatkan kita dari jebakan besar.
Mencegah penipuan investasi bukan soal mencari “tembok” yang bisa menahan semua serangan, melainkan soal menyiapkan filter berlapis yang menyaring setiap tawaran sebelum kita percaya. Sama seperti air yang harus melewati beberapa saringan agar layak diminum, tawaran investasi pun harus melewati lapisan filter agar aman.
Filter pertama: individu.
Inilah lapisan paling penting, karena penipu selalu masuk lewat celah psikologis pribadi. Prinsip sederhana — tidak ada sukses instan dalam investasi — harus menjadi pegangan. Setiap kali ada tawaran, tanyakan tiga hal: Apakah legal? Apakah logis? Apakah bisa diverifikasi independen? Jika satu saja jawabannya “tidak jelas”, lebih baik mundur. Disiplin pribadi ini bisa diperkuat dengan kebiasaan sederhana, misalnya memberi jeda 24 jam sebelum mengambil keputusan, atau mencoba menjelaskan tawaran itu dengan bahasa sederhana. Jika tidak bisa dijelaskan dengan mudah, kemungkinan besar ada yang disembunyikan.
Filter kedua: komunitas.
Jika filter individu masih lolos, lapisan berikutnya adalah diskusi dengan orang lain. Grup sehat biasanya membicarakan risiko dan regulasi, bukan hanya keuntungan. Edukasi peer-to-peer terbukti lebih efektif karena datang dari sumber yang dipercaya. Bayangkan jika setiap keluarga punya satu orang skeptis yang selalu bertanya “mana buktinya?” — betapa banyak korban bisa diselamatkan.
Filter ketiga: regulasi.
Lapisan terakhir adalah sistem hukum dan pengawasan. OJK dan Bappebti menyediakan daftar entitas berizin yang bisa diakses publik. Situs dan aplikasi palsu bisa diblokir, pelaku bisa ditindak. Namun, pagar hukum ini hanya efektif jika masyarakat rajin memakainya. Tanpa kebiasaan mengecek izin, regulasi hanya menjadi dokumen di atas kertas.
Dengan tiga lapisan filter ini, setiap tawaran investasi akan disaring berkali-kali. Semakin disiplin kita menggunakannya, semakin kecil kemungkinan penipu bisa menembus pertahanan kita.
Banyak jebakan bisa dikenali lebih cepat jika kita peka terhadap tanda-tanda bahaya yang berulang di hampir semua modus. Menyadari pola ini membantu kita menekan risiko sejak awal.
Janji keuntungan tetap dan tinggi.
Klaim profit konsisten (misalnya “10% per bulan, dijamin”) tidak realistis dalam pasar yang fluktuatif. Produk riil selalu punya risiko, biaya, dan variabel pasar. Janji stabil nyaris pasti berarti skema tidak transparan.
Tekanan untuk segera bergabung.
Ajakan “slot terbatas”, “tutup pendaftaran malam ini”, atau “bonus khusus 24 jam” dirancang untuk mematikan akal sehat. Urgensi palsu menghilangkan waktu verifikasi, mendorong keputusan impulsif.
Tidak ada penjelasan model bisnis.
Jika ditanya bagaimana uang diolah, jawabannya hanya jargon teknis tanpa arus kas jelas. Misalnya, “sistem AI kami sudah otomatis” tanpa penjelasan bagaimana uang benar-benar diputar.
Izin usaha tidak konsisten.
Entitas mengaku berizin, tetapi nomor izin tidak ditemukan di daftar regulator, atau izinnya untuk aktivitas berbeda. Misalnya izin koperasi dipakai untuk menghimpun dana berjangka tinggi.
Metode pembayaran tidak wajar.
Dorongan transfer ke rekening pribadi, e-wallet anonim, atau crypto wallet tanpa kontrak yang jelas menandakan penghindaran pengawasan.
Peka terhadap sinyal-sinyal ini seringkali cukup untuk mencegah langkah pertama yang berisiko besar.
Anda tidak perlu jadi ahli hukum untuk melakukan verifikasi legal dasar. Beberapa langkah sederhana sudah sangat membantu menyaring tawaran berisiko.
Cek kesesuaian izin dengan aktivitas.
Pastikan jenis izin sesuai dengan kegiatan yang dilakukan: sekuritas untuk penawaran efek, Bappebti untuk perdagangan berjangka, Kemenkop untuk koperasi, P2P untuk lending. Izin yang “nyasar” adalah alarm.
Verifikasi entitas dan kanal resmi.
Bandingkan nama legal, alamat, direksi, website, dan kontak layanan dengan yang tertera di kanal resmi regulator. Perbedaan kecil (typo, domain mirip) sering dipakai untuk menipu.
Kontrak dan dokumen transparan.
Produk riil selalu punya dokumen: prospektus, perjanjian, penjelasan risiko, skema biaya. Jika dokumen tidak ada atau tidak mau diberikan sebelum transfer, hentikan proses.
Uji konsistensi informasi publik.
Cari konsistensi antara materi promosi, testimoni, dan jejak digital (berita, pengumuman resmi, peringatan regulator). Ketidaksesuaian adalah tanda rekayasa.
Langkah-langkah ini sederhana, namun sangat efektif menolak tawaran yang rapuh sejak awal.
Selain aspek legal, ketahanan teknis platform bisa menunjukkan keseriusan atau kebohongan. Beberapa cek teknis dasar membantu menghindari jebakan berbasis aplikasi.
Konsistensi identitas digital.
Domain harus stabil, aman (HTTPS), dan terhubung ke entitas legal yang sama di berbagai kanal. Pergantian domain/akun yang sering adalah red flag.
Keterhubungan ke pasar riil.
Platform trading riil terhubung ke bursa, punya latency wajar, dan transparansi eksekusi. Jika “harga” selalu mengikuti skenario marketing, tak pernah slip, atau grafik tidak pernah merah, itu indikasi simulasi.
Audit dan pengawasan independen.
Paparan audit TI, penilaian keamanan, atau keterlibatan pihak ketiga kredibel meningkatkan kepercayaan. Ketiadaan jejak audit sering berarti tidak ada kontrol.
Kebijakan dana dan penarikan yang jelas.
Proses deposit/withdraw harus melalui rekening kustodian/escrow resmi, bukan rekening pribadi. Keterlambatan penarikan yang sistemik dengan alasan “maintenance” berkepanjangan adalah pola jebakan.
Uji tuntas teknis membantu mengungkap selubung profesional palsu yang kerap menipu mata.
Kadang jebakan baru terasa ketika dana sudah masuk. Strategi bertahan dan pemulihan yang terstruktur bisa meminimalkan kerugian dan mempercepat penanganan.
Bekukan langkah dan dokumentasikan.
Hentikan setoran lanjutan. Simpan semua bukti: kontrak, chat, bukti transfer, tangkapan layar dashboard, nama akun, dan domain. Dokumentasi rapi memperkuat laporan.
Laporkan ke kanal resmi.
Ajukan pengaduan ke kanal pengawasan yang relevan (misalnya pengaduan OJK untuk entitas jasa keuangan, atau pengaduan Bappebti untuk perdagangan berjangka). Laporan cepat membantu penindakan.
Koordinasi dengan bank/e-money.
Segera hubungi bank/e-wallet untuk meminta blokir aliran dana jika masih memungkinkan, serta minta catatan transaksi untuk mempermudah pelacakan.
Bangun kelompok korban yang sehat.
Grup korban yang fokus pada data dan langkah hukum membantu penyatuan bukti, menghindari drama, dan memperkuat posisi dalam proses penanganan.
Langkah ini tidak selalu mengembalikan dana, tetapi seringkali menentukan apakah jalur penindakan bisa berjalan efektif.
Keputusan yang baik lahir dari kebiasaan yang disiplin. Checklist ini dirancang sebagai langkah cepat yang bisa dipraktikkan siapa saja.
Checklist ini sederhana, namun bila dijalankan konsisten, dapat memangkas mayoritas risiko sejak pintu masuk.
Literasi finansial bukan sekadar mengenal istilah, tetapi membangun kebiasaan verifikasi dan keberanian untuk berkata “tidak” ketika sesuatu tidak jelas. Dalam dunia yang semakin pintar meniru, keteguhan pada prinsip sederhana — legal, logis, terverifikasi — adalah perlindungan paling kuat.
Investasi sejati ibarat menanam pohon: butuh waktu, kesabaran, dan perawatan. Ia tumbuh perlahan tapi pasti, bukan memberi buah instan. Dengan filter berlapis, kepekaan terhadap tanda bahaya, verifikasi legal dan teknis, serta disiplin menjalankan checklist praktis, kita bukan hanya menghindari penipuan — tetapi juga membangun budaya finansial yang sehat.
Pada akhirnya, melindungi diri dari investasi bodong bukan hanya soal menyelamatkan uang pribadi, tetapi juga soal menjaga ekosistem ekonomi agar lebih bersih, transparan, dan berkelanjutan. Semakin banyak orang yang melek literasi, semakin sempit ruang gerak para penipu.