Dalam lanskap dunia kerja yang terus berkembang, sebuah fenomena menarik telah mencuat ke permukaan, dikenal dengan istilah “quiet quitting”. Bukan berarti berhenti bekerja secara harfiah, quiet quitting adalah sebuah sikap di mana individu memutuskan untuk hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugasnya, tanpa mengambil inisiatif atau melampaui ekspektasi. Ini adalah respons terhadap budaya kerja yang serba menuntut dan seringkali mengabaikan keseimbangan hidup-kerja. Artikel ini akan menggali lebih dalam esensi quiet quitting, bukan sebagai bentuk kemalasan, melainkan sebagai upaya fundamental untuk membangun batasan sehat antara kehidupan profesional dan personal.
Quiet quitting sering disalahartikan sebagai kurangnya dedikasi atau etos kerja yang rendah. Padahal, pada intinya, ini adalah seruan untuk redefinisi hubungan kita dengan pekerjaan. Banyak dari kita tumbuh dengan narasi bahwa “bekerja keras” berarti selalu memberikan lebih, bekerja lembur, dan menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama. Namun, bagi sebagian orang, narasi ini telah menyebabkan kelelahan ekstrem (burnout), stres berkepanjangan, dan hilangnya kebahagiaan di luar lingkup profesional.
Quiet quitting adalah manifestasi dari kesadaran bahwa nilai diri seseorang tidak semata-mata diukur dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan di kantor atau seberapa besar pengorbanan yang diberikan untuk pekerjaan. Ini adalah penolakan terhadap ekspektasi yang tidak realistis dan sebuah pengakuan bahwa energi dan waktu kita adalah sumber daya yang terbatas dan berharga. Ini adalah bentuk self-preservation—upaya untuk melindungi diri dari tuntutan yang tak henti-hentinya yang dapat menguras vitalitas dan merusak kesehatan mental.
Fenomena quiet quitting tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang telah lama menggerogoti kesejahteraan pekerja:
Inti dari quiet quitting adalah pembentukan batasan yang sehat. Batasan ini bukan berarti tidak peduli atau tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, ini adalah tentang mendefinisikan dengan jelas apa yang merupakan tanggung jawab pekerjaan kita dan apa yang bukan, serta berapa banyak energi yang realistis untuk kita curahkan. Ini adalah praktik assertiveness dan self-care:
Fenomena quiet quitting memiliki implikasi yang kompleks, dengan potensi keuntungan dan tantangan, baik bagi individu maupun organisasi:
Quiet quitting bukanlah solusi universal untuk semua masalah di tempat kerja. Namun, ini adalah refleksi penting tentang bagaimana kita perlu meninjau ulang hubungan kita dengan pekerjaan. Ini adalah alarm bagi budaya korporat yang telah terlalu lama menuntut terlalu banyak tanpa memberikan imbalan yang setara atau dukungan yang memadai.
Perusahaan perlu bergerak menuju budaya yang lebih menghargai kesejahteraan karyawan, mengakui bahwa karyawan yang seimbang, sehat, dan bahagia akan menjadi lebih produktif dan loyal dalam jangka panjang. Ini berarti berinvestasi dalam program kesejahteraan, menawarkan fleksibilitas, memastikan beban kerja yang realistis, dan membangun jalur komunikasi yang terbuka di mana karyawan merasa aman untuk menyuarakan kekhawatiran mereka.
Bagi individu, quiet quitting adalah sebuah ajakan untuk berani menentukan batasan, memprioritaskan diri, dan memahami bahwa pekerjaan adalah bagian dari hidup, bukan seluruhnya. Ini adalah langkah menuju kehidupan yang lebih seimbang, penuh makna, dan berkelanjutan. Mari kita jadikan ini sebagai kesempatan untuk membangun jembatan antara aspirasi profesional dan kesejahteraan pribadi, menciptakan lingkungan di mana kita dapat berkembang sepenuhnya, baik di dalam maupun di luar kantor. Ini adalah evolusi penting dalam cara kita bekerja dan cara kita hidup.