Di era informasi yang melimpah ruah seperti sekarang, kita sering menyaksikan fenomena yang membingungkan: mengapa sebagian orang tetap memercayai hoaks, meskipun bukti-bukti faktual yang jelas telah dihadirkan? Ini bukan hanya soal kurangnya informasi, melainkan sebuah kompleksitas psikologis yang akarnya terhujam dalam konsep disonansi kognitif (Cognitive Dissonance). Sebuah teori psikologi yang revolusioner, disonansi kognitif menjelaskan ketidaknyamanan mental yang kita alami ketika memegang dua keyakinan yang bertentangan, atau ketika tindakan kita tidak sejalan dengan apa yang kita yakini. Ini adalah pergulatan internal yang kuat, dorongan tak terbendung untuk mengembalikan harmoni dalam pikiran kita. Fenomena ini semakin diperparah oleh dinamika unik dunia digital, menciptakan medan pertempuran yang sengit antara kebenaran dan keyakinan yang tertanam kuat.
Pada intinya, disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan mental yang timbul ketika seseorang memegang dua atau lebih keyakinan, ide, atau nilai yang bertentangan, atau ketika keyakinannya bertentangan dengan tindakan yang diambilnya. Teori yang pertama kali diajukan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 ini menjelaskan bahwa manusia memiliki dorongan bawaan yang sangat kuat untuk mencari konsistensi dalam kognisi mereka. Kita secara naluriah tidak nyaman dengan inkonsistensi. Ketika konsistensi ini terganggu—misalnya, saat keyakinan kuat kita berbenturan dengan fakta yang tak terbantahkan—kita akan berusaha mengurangi disonansi tersebut demi mencapai kembali keseimbangan psikologis yang nyaman.
Dalam konteks hoaks, disonansi muncul ketika seseorang yang telah memercayai suatu informasi (yang ternyata hoaks) dihadapkan pada bukti-bukti faktual yang membantah keyakinan awalnya. Ini bukan hanya sekadar menerima informasi baru; ini adalah serangan terhadap struktur kognitif yang telah dibangun. Alih-alih langsung menerima kebenaran, otak kita justru cenderung menggunakan berbagai strategi defensif untuk melindungi keyakinan yang sudah ada. Mengapa? Karena mengakui kesalahan bisa sangat menyakitkan dan mengancam citra diri. Ini bisa berarti mengakui bahwa kita telah “ditipu,” bahwa penilaian kita kurang, atau bahkan bahwa pandangan dunia kita selama ini ternyata keliru secara fundamental. Rasa malu, rasa bersalah, atau bahkan kehilangan identitas bisa menjadi konsekuensi internal yang dirasakan, dan otak akan berusaha keras menghindarinya.
Dunia digital, dengan segala kecanggihan algoritmanya, secara tidak sengaja memperkuat disonansi kognitif ini hingga ke level yang belum pernah ada sebelumnya. Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang paling mungkin kita sukai, setujui, dan berinteraksi dengannya. Logikanya sederhana: semakin kita berinteraksi, semakin lama kita di platform, dan semakin banyak iklan yang bisa ditampilkan. Hasilnya? Kita terjebak dalam apa yang disebut gema kamar (echo chambers) atau gelembung filter (filter bubbles). Di dalam ruang-ruang digital ini, kita terus-menerus terpapar pada informasi dan opini yang memvalidasi keyakinan kita yang sudah ada, seolah-olah seluruh dunia berpikir sama. Sementara itu, informasi yang bertentangan disaring, diminimalkan, atau bahkan tidak pernah muncul di lini masa kita.
Bayangkan seseorang yang sangat memercayai teori konspirasi tertentu, misalnya tentang “pemerintah rahasia”. Algoritma akan terus-menerus menyajikan artikel, video, dan postingan dari sumber-sumber yang mendukung teori tersebut. Lingkaran setan ini menciptakan validasi diri yang konstan. Ketika suatu bukti faktual yang kredibel muncul dan membantah teori tersebut, individu ini tidak hanya kurang terpapar bukti tersebut (karena algoritma menyaringnya), tetapi juga mungkin akan langsung menolaknya sebagai “propaganda,” “kebohongan,” atau “serangan” dari pihak yang tidak sepaham. Mereka sudah terbiasa dengan narasi yang mendukung pandangan mereka, sehingga setiap disonansi yang muncul dari informasi kontra akan segera diatasi dengan penolakan atau rasionalisasi yang lebih dalam, memperkuat keyakinan awal mereka. Dinding gelembung filter ini semakin tebal, membuat kebenaran semakin sulit menembus.
Salah satu mekanisme kognitif utama yang bekerja di balik fenomena ini adalah bias konfirmasi. Ini adalah kecenderungan alami kita untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi dengan cara yang secara selektif mengkonfirmasi keyakinan kita yang sudah ada. Kita secara tidak sadar memprioritaskan bukti yang mendukung narasi internal kita dan meremehkan atau mengabaikan bukti yang menantangnya. Ketika berhadapan dengan hoaks dan fakta, bias konfirmasi membuat kita lebih mudah menerima informasi yang sejalan dengan apa yang sudah kita yakini, dan secara otomatis menjadi lebih skeptis atau bahkan agresif terhadap informasi yang bertentangan.
Misalnya, jika seseorang sudah memiliki pandangan negatif yang mendalam terhadap partai politik tertentu, mereka akan lebih mudah memercayai hoaks tentang korupsi atau ketidakbecusan partai tersebut, meskipun buktinya sangat lemah atau bahkan fiktif. Sebaliknya, mereka mungkin akan menolak laporan investigasi resmi yang menunjukkan tidak ada indikasi korupsi, menganggapnya sebagai “penutupan” atau “manipulasi media,” karena hal itu bertentangan dengan keyakinan awal mereka. Ini bukan masalah kecerdasan; ini adalah cara kerja otak untuk menjaga konsistensi kognitif. Kita cenderung menafsirkan ambiguitas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pandangan kita, dan ini menjadi fondasi kuat bagi ketahanan hoaks.
Emosi memainkan peran yang sangat besar, dan sering kali dominan, dalam mengapa hoaks tetap dipercaya. Hoaks sering kali dirancang secara licik untuk memicu emosi yang sangat kuat seperti ketakutan, kemarahan, kepanikan, atau harapan yang membumbung tinggi. Ketika sebuah hoaks menyentuh rasa takut kita akan sesuatu yang buruk terjadi (misalnya, konspirasi tentang vaksin), atau memberi harapan akan solusi instan untuk masalah kompleks (misalnya, janji-janji manis dari demagog), kita cenderung lebih mudah menerimanya tanpa banyak verifikasi kritis. Kita dikendalikan oleh respons emosional, yang mengesampingkan penalaran logis.
Lebih jauh lagi, keyakinan terhadap hoaks bisa terkait erat dengan identitas sosial seseorang. Dalam banyak kasus, memercayai suatu hoaks tertentu bisa menjadi penanda keanggotaan dalam kelompok sosial, ideologis, atau politik tertentu. Ini adalah “lencana” yang menunjukkan loyalitas dan keselarasan nilai. Menolak hoaks tersebut bisa berarti mengkhianati kelompok atau komunitasnya, berisiko dikucilkan, dicap “bodoh,” atau “musuh.” Disonansi yang muncul dari konflik antara kebenaran faktual dan kebutuhan akan penerimaan sosial bisa menjadi sangat besar. Bagi sebagian orang, mempertahankan keyakinan yang salah (dan tetap diterima kelompok) jauh lebih penting daripada mengakui fakta (dan berisiko menjadi “orang luar”), demi menjaga kohesi sosial dan identitas kelompok mereka. Ini adalah harga psikologis yang sering kali tidak terlihat, namun sangat nyata.
Meskipun tantangannya besar, memahami akar psikologis dari fenomena ini adalah langkah pertama yang krusial untuk mengatasinya. Melawan hoaks bukan hanya tentang menyajikan lebih banyak fakta, melainkan tentang membangun jembatan psikologis dan sosial. Beberapa strategi yang dapat membantu menembus dinding disonansi kognitif meliputi:
Fenomena “disonansi kognitif” digital adalah pengingat kuat bahwa perang melawan hoaks bukan hanya tentang menyajikan fakta, tetapi juga tentang memahami dan mengatasi kompleksitas psikologi manusia, serta dinamika sosial dan digital yang membentuk keyakinan kita. Ini adalah tantangan yang membutuhkan pendekatan multidimensional, kesabaran yang luar biasa, dan komitmen kolektif dari individu, lembaga, dan platform digital untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas, lebih kritis, dan lebih resilien dalam menghadapi banjir informasi.