Fenomena Self-Quitting Gen Z: Saat Perubahan Resiliensi Mengubah Dunia Kerja

Di dunia kerja modern, fenomena “self-quitting” yang banyak terjadi di kalangan Generasi Z — ketika seseorang mengundurkan diri tanpa ada pekerjaan pengganti atau rencana yang jelas — semakin sering menjadi berita utama. Di permukaan, tindakan ini terlihat nekat atau impulsif, sebuah respons terhadap lingkungan kerja yang dianggap terlalu menuntut. Namun, jika kita melihat lebih dalam, “self-quitting” bukanlah sekadar tren, melainkan manifestasi dari pergeseran fundamental dalam karakter dan resiliensi suatu generasi. Ini adalah kisah tentang dua dunia yang bertabrakan: dunia kerja yang terbiasa dengan ketangguhan ala analog dan para pekerja yang dibentuk oleh realitas digital.

Bagi Generasi X dan sebelumnya, pekerjaan adalah fondasi utama yang menjamin stabilitas dan keamanan. Loyalitas pada satu perusahaan adalah hal yang wajar dan berharga. Namun, bagi Milenial dan Gen Z, paradigma ini telah berubah total. Mereka memprioritaskan fleksibilitas, makna, dan keseimbangan hidup (work-life balance) di atas segalanya. Sebenarnya, inti masalahnya bukan terletak pada tuntutan pekerjaan yang lebih berat, melainkan pada perbedaan mendasar dalam resiliensi dan karakter yang terbentuk dari lingkungan yang berbeda.


Bagian 1: Tiga Generasi, Tiga Tingkat Resiliensi yang Berbeda

Untuk memahami mengapa “self-quitting” begitu lumrah di kalangan Gen Z, kita perlu melihat bagaimana pengalaman hidup membentuk ketahanan setiap generasi.

  • Generasi X (Jembatan Dua Dunia). Lahir dan dibesarkan di era analog, Gen X adalah jembatan unik antara dunia lama dan baru. Mereka belajar ketekunan dan kesabaran saat harus mencari informasi di perpustakaan, berinteraksi sosial secara langsung, dan menyelesaikan masalah tanpa bantuan instan. Pengalaman ini membentuk fondasi kepribadian dengan resiliensi yang sangat tinggi terhadap kesulitan. Ketika internet dan ponsel muncul, mereka mengadopsinya sebagai alat yang berguna, bukan sebagai identitas diri atau cara hidup. Bagi mereka, bertahan menghadapi kesulitan adalah tanda kekuatan karakter.
  • Generasi Milenial (Transisi Awal). Milenial berada di tengah-tengah spektrum. Mereka mengalami masa kecil di luar ruang, namun tumbuh dewasa seiring dengan masifnya internet. Pengalaman ganda ini membuat tingkat resiliensi mereka berada di tengah-tengah spektrum. Mereka mampu beradaptasi, namun juga lebih peka terhadap isu kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Mereka adalah generasi pertama yang secara massal mempertanyakan budaya kerja yang menguras tenaga.
  • Generasi Z (Produk Asli Dunia Digital). Berbeda dengan kedua generasi sebelumnya, Gen Z lahir dan besar di era di mana internet dan ponsel pintar sudah menjadi kebutuhan utama. Mereka tidak pernah mengenal dunia tanpa gratifikasi instan, scrolling, atau notifikasi. Lingkungan ini melatih otak untuk menuntut imbalan cepat, sehingga sulit bagi mereka untuk bertahan pada tugas yang memerlukan ketekunan jangka panjang. Resiliensi mereka secara statistik menunjukkan penurunan tajam, karena fondasi kepribadian mereka tidak terlatih untuk menghadapi kesulitan analog.

Bagian 2: “Burnout” yang Subyektif — Neuroticism dan Conscientiousness Menentukan Segalanya

Pelemahan resiliensi ini dapat dijelaskan melalui dua dimensi utama dari model kepribadian The Big Five:

  • Lonjakan Neuroticism. Studi menunjukkan bahwa Neuroticism, sifat yang berkaitan dengan kecemasan, kekhawatiran, dan ketidakstabilan emosi, melonjak tajam pada Gen Z. Kecemasan adalah antitesis dari resiliensi. Di lingkungan kerja yang serba cepat, Gen Z sering merasa kewalahan karena tekanan konstan untuk tampil sempurna, diperparah oleh budaya perbandingan sosial yang terus-menerus di media sosial. Ketika dihadapkan pada tekanan kerja yang bagi Gen X terasa normal, Gen Z mungkin merasakannya sebagai ancaman yang terlalu besar. Perasaan “terlalu berat” atau “tidak bisa” muncul lebih cepat, membuat mereka lebih memilih “self-quitting” sebagai bentuk perlindungan diri.
  • Penurunan Conscientiousness. Seiring dengan itu, Conscientiousness, yang mencakup kedisiplinan, ketekunan, dan tanggung jawab, mengalami penurunan paling signifikan. Sifat ini adalah fondasi dari ketangguhan. Tanpa ketekunan, proses panjang untuk mencapai tujuan, mengatasi kegagalan, dan belajar dari kesalahan akan terasa mustahil. Dunia digital yang penuh gratifikasi instan telah mengikis kemampuan mereka untuk bertahan dalam proses yang panjang dan menantang, memperkuat persepsi bahwa segala hal harus datang dengan cepat.

Maka, apa yang dianggap “burnout” oleh Gen Z, mungkin saja hanyalah standar kerja yang wajar bagi Gen X. Ini bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan perbedaan dalam standar ketahanan yang dibentuk oleh pengalaman hidup.


Bagian 3: Penyebab di Luar Diri — Dukungan Keluarga dan Tekanan Digital

Selain faktor-faktor psikologis dan generasional di atas, ada beberapa pemicu penting lainnya yang mendorong Milenial dan Gen Z untuk berani mengambil langkah ekstrem ini:

  • Hilangnya Janji Stabilitas Finansial. Bagi generasi sebelumnya, pekerjaan 9-to-5 seringkali menjanjikan kenaikan gaji yang stabil dan pensiun yang aman. Namun, bagi Gen Z dan Milenial, janji ini terasa hampa. Gaji yang stagnan tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus melonjak. Perasaan tidak dihargai secara finansial ini bisa menjadi pemicu kuat untuk berhenti dan mencari jalur yang berpotensi memberikan imbalan lebih cepat, seperti menjadi freelancer atau wirausaha.
  • Kurangnya Perkembangan Karir yang Jelas. Pekerja muda tidak hanya ingin bekerja, mereka ingin melihat dengan jelas bagaimana mereka bisa maju dalam beberapa tahun ke depan. Ketika manajemen tidak menyediakan peta jalan (road map) yang transparan atau menunda promosi, mereka cenderung merasa terjebak. Bagi mereka, berhenti kerja adalah cara tercepat untuk membuka pintu bagi peluang baru, dibandingkan menunggu di posisi yang stagnan.
  • Jaring Pengaman dari Orang Tua (Parental Safety-Net). Banyak Gen Z dan Milenial, terutama di kalangan kelas menengah, masih tinggal bersama orang tua atau memiliki dukungan finansial yang kuat. Adanya jaring pengaman ini secara efektif mengurangi risiko finansial dari “self-quitting”. Mereka merasa lebih berani mengambil langkah ekstrem karena tahu ada pihak yang bisa diandalkan jika mereka mengalami kesulitan, sebuah kemewahan yang tidak dinikmati oleh generasi sebelumnya.
  • Tekanan dan Ekspektasi dari Media Sosial. Media sosial menciptakan realitas yang dikurasi, di mana setiap orang terlihat sukses, produktif, dan bahagia. Ekspektasi yang tidak realistis ini memicu kecemasan dan perasaan FOMO (Fear of Missing Out), membuat mereka membandingkan diri dan merasa pekerjaan mereka tidak “cukup keren,” mendorong mereka untuk mencari pekerjaan yang terlihat lebih memuaskan secara sosial.

Kesimpulan: Sebuah Era Baru dalam Resiliensi

“Self-quitting” bukanlah sekadar respons terhadap tuntutan pekerjaan yang lebih berat. Lebih dari itu, ini adalah manifestasi dari perubahan mendalam pada karakter dan resiliensi suatu generasi, yang dibentuk oleh lingkungan digital. Gen Z, sebagai produk asli era ini, memiliki standar ketahanan yang berbeda.

Bagi mereka, keluar dari pekerjaan yang menguras emosi bukan tanda menyerah, melainkan sebuah langkah proaktif untuk mencari kebahagiaan dan makna. Mereka mengajarkan kita bahwa di dunia yang serba cepat, resiliensi tidak hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang keberanian untuk mengubah arah demi menjaga kesejahteraan diri. Fenomena ini memaksa perusahaan untuk beradaptasi, bukan hanya dengan menawarkan gaji tinggi, tetapi juga dengan menciptakan lingkungan kerja yang menghargai kesehatan mental dan tujuan individu. Ini adalah tantangan dan kesempatan bagi semua pihak untuk membangun dunia kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

1 Votes: 1 Upvotes, 0 Downvotes (1 Points)

Leave a reply

Dukung Kami!

Jika Anda merasa konten kami bermanfaat dan ingin mendukung misi Kami, bisa donasi melalui Ko-Fi.

Tetap terinformasi dengan berita positif dan inspiratif.

Bersedia untuk menerima informasi dan berita dari DUS.ID melalui email. Untuk informasi lebih lanjut, silakan tinjau Kebijakan Privasi

Dukung Kami!

Jika Anda merasa konten kami bermanfaat dan ingin mendukung misi Kami, bisa donasi melalui Ko-Fi.

Search
RANDOM
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...

All fields are required.