Di dunia kerja modern, fenomena “self-quitting” yang banyak terjadi di kalangan Generasi Z — ketika seseorang mengundurkan diri tanpa ada pekerjaan pengganti atau rencana yang jelas — semakin sering menjadi berita utama. Di permukaan, tindakan ini terlihat nekat atau impulsif, sebuah respons terhadap lingkungan kerja yang dianggap terlalu menuntut. Namun, jika kita melihat lebih dalam, “self-quitting” bukanlah sekadar tren, melainkan manifestasi dari pergeseran fundamental dalam karakter dan resiliensi suatu generasi. Ini adalah kisah tentang dua dunia yang bertabrakan: dunia kerja yang terbiasa dengan ketangguhan ala analog dan para pekerja yang dibentuk oleh realitas digital.
Bagi Generasi X dan sebelumnya, pekerjaan adalah fondasi utama yang menjamin stabilitas dan keamanan. Loyalitas pada satu perusahaan adalah hal yang wajar dan berharga. Namun, bagi Milenial dan Gen Z, paradigma ini telah berubah total. Mereka memprioritaskan fleksibilitas, makna, dan keseimbangan hidup (work-life balance) di atas segalanya. Sebenarnya, inti masalahnya bukan terletak pada tuntutan pekerjaan yang lebih berat, melainkan pada perbedaan mendasar dalam resiliensi dan karakter yang terbentuk dari lingkungan yang berbeda.
Untuk memahami mengapa “self-quitting” begitu lumrah di kalangan Gen Z, kita perlu melihat bagaimana pengalaman hidup membentuk ketahanan setiap generasi.
Pelemahan resiliensi ini dapat dijelaskan melalui dua dimensi utama dari model kepribadian The Big Five:
Maka, apa yang dianggap “burnout” oleh Gen Z, mungkin saja hanyalah standar kerja yang wajar bagi Gen X. Ini bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan perbedaan dalam standar ketahanan yang dibentuk oleh pengalaman hidup.
Selain faktor-faktor psikologis dan generasional di atas, ada beberapa pemicu penting lainnya yang mendorong Milenial dan Gen Z untuk berani mengambil langkah ekstrem ini:
“Self-quitting” bukanlah sekadar respons terhadap tuntutan pekerjaan yang lebih berat. Lebih dari itu, ini adalah manifestasi dari perubahan mendalam pada karakter dan resiliensi suatu generasi, yang dibentuk oleh lingkungan digital. Gen Z, sebagai produk asli era ini, memiliki standar ketahanan yang berbeda.
Bagi mereka, keluar dari pekerjaan yang menguras emosi bukan tanda menyerah, melainkan sebuah langkah proaktif untuk mencari kebahagiaan dan makna. Mereka mengajarkan kita bahwa di dunia yang serba cepat, resiliensi tidak hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang keberanian untuk mengubah arah demi menjaga kesejahteraan diri. Fenomena ini memaksa perusahaan untuk beradaptasi, bukan hanya dengan menawarkan gaji tinggi, tetapi juga dengan menciptakan lingkungan kerja yang menghargai kesehatan mental dan tujuan individu. Ini adalah tantangan dan kesempatan bagi semua pihak untuk membangun dunia kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.