Di era digital yang serba cepat ini, informasi mengalir deras bagaikan sungai yang tak pernah kering. Namun, di tengah banjir informasi tersebut, tak jarang kita menemukan hoaks atau berita palsu yang bertebaran. Yang menarik, bahkan ketika bukti fakta yang kuat disajikan, banyak orang tetap enggan melepaskan keyakinannya pada hoaks tersebut. Mengapa demikian? Fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep diskonansi kognitif digital, sebuah adaptasi dari teori psikologi sosial klasik yang dicetuskan oleh Leon Festinger. Mari kita selami lebih dalam mengapa otak kita seringkali terjebak dalam lingkaran hoaks, dan bagaimana kita bisa melepaskan diri dari jeratnya.
Pada intinya, diskonansi kognitif adalah ketidaknyamanan mental yang dialami seseorang ketika memiliki dua atau lebih keyakinan, ide, atau nilai yang bertentangan secara bersamaan, atau ketika perilakunya tidak sejalan dengan keyakinannya. Ibaratnya, ada dua suara dalam kepala kita yang saling beradu, menciptakan “gesekan” psikologis. Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, individu akan berusaha mengubah salah satu elemen yang bertentangan tersebut. Dalam konteks hoaks digital, ini berarti ketidaknyamanan yang muncul ketika keyakinan seseorang akan suatu hoaks (misalnya, “Vaksin itu berbahaya dan mengandung microchip”) berhadapan dengan bukti fakta yang kredibel (misalnya, “Studi ilmiah menunjukkan vaksin aman dan efektif, serta tidak ada bukti microchip di dalamnya”). Untuk meredakan ketidaknyamanan tersebut, otak kita akan mencari jalan pintas, seringkali bukan dengan menerima fakta, melainkan dengan mengubah persepsi atau membenarkan keyakinan awal.
Beberapa faktor kunci berkontribusi pada fenomena diskonansi kognitif digital ini, menjadikannya sebuah medan perang psikologis di dalam pikiran kita:
Ini adalah salah satu pilar utama mengapa hoaks begitu sulit dihilangkan. Kita sebagai manusia cenderung mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi dengan cara yang membenarkan keyakinan atau hipotesis kita yang sudah ada. Bayangkan pikiran kita seperti spons yang hanya menyerap air berwarna sama dengan dirinya. Ketika seseorang sudah percaya pada suatu hoaks—misalnya, keyakinan bahwa bumi itu datar—mereka tidak hanya akan secara aktif mencari berita atau informasi lain yang mendukung hoaks tersebut, tetapi juga akan secara otomatis mengabaikan, meragukan, atau bahkan menyerang balik bukti fakta yang bertentangan.
Algoritma media sosial memperparah bias ini dengan menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi kita. Ini menciptakan apa yang disebut “filter bubble” atau “echo chamber”, di mana kita hanya terpapar pada sudut pandang yang sama, diperkuat oleh orang-orang dengan keyakinan serupa. Akibatnya, proses disonansi kognitif semakin sulit dipecahkan. Bukti fakta yang menantang keyakinan mereka jarang, bahkan tidak pernah, muncul di hadapan mereka, atau jika muncul, langsung difilter atau dianggap tidak relevan.
Manusia memiliki kebutuhan intrinsik yang kuat untuk merasa konsisten dalam pikiran dan tindakan mereka. Mengakui bahwa keyakinan sebelumnya adalah hoaks dapat terasa seperti mengakui kesalahan fatal atau kurangnya penilaian yang baik, yang secara psikologis dapat merusak citra diri atau ego seseorang. Ini adalah beban emosional yang seringkali dihindari.
Lebih jauh lagi, jika hoaks tersebut diyakini oleh kelompok sosial, komunitas, atau bahkan keluarga di mana seseorang berafiliasi, mengakui kebenaran fakta bisa berarti berisiko terasing dari kelompok tersebut. Dalam konteks ini, konsistensi dengan norma kelompok seringkali lebih diutamakan daripada konsistensi dengan kebenaran faktual. Ini sangat relevan dalam polarisasi politik atau ideologis, di mana identitas kelompok seringkali lebih kuat daripada komitmen pada kebenaran faktual. Keyakinan pada hoaks bisa menjadi penanda keanggotaan dan loyalitas kelompok.
Hoaks sering kali tidak hanya informatif, tetapi juga sengaja dirancang untuk memicu respons emosional yang kuat, seperti ketakutan, kemarahan, kecemasan, atau bahkan harapan palsu. Emosi ini dapat secara signifikan mengesampingkan pemikiran rasional dan kritis. Misalnya, hoaks yang menyebarkan ketakutan akan bahaya tertentu (misalnya, teori konspirasi tentang makanan yang dicemari) dapat memicu respons “fight or flight” yang membuat seseorang kurang mampu memproses informasi secara kritis dan lebih cepat percaya.
Ketika emosi mendominasi, otak cenderung mencari pembenaran untuk perasaan tersebut, bahkan jika itu berarti mengabaikan fakta yang bertentangan. Hoaks yang menyentuh isu-isu sensitif seperti kesehatan, agama, politik, atau bahkan teori konspirasi yang menawarkan “penjelasan rahasia” cenderung memiliki daya tarik emosional yang lebih besar. Mereka memberikan rasa “memahami” sesuatu yang rumit, atau rasa menjadi bagian dari kelompok yang “tahu kebenaran” yang tersembunyi.
Dalam lanskap digital yang kacau, kredibilitas sumber seringkali menjadi abu-abu dan subjektif. Orang cenderung lebih mempercayai informasi yang berasal dari teman, keluarga, figur otoritas yang mereka kagumi (selebriti, politisi, “pakar” di media sosial), atau bahkan grup chat, meskipun sumber tersebut tidak kredibel secara faktual atau tidak memiliki latar belakang keahlian. Ini diperparah dengan munculnya influencer digital yang seringkali menyebarkan informasi tanpa verifikasi yang memadai, dan pengikutnya percaya karena ikatan parasosial atau loyalitas buta. Jika hoaks berasal dari “sumber terpercaya” bagi seseorang, maka akan sangat sulit untuk melepaskan keyakinan tersebut, bahkan di hadapan bukti dari sumber yang lebih kredibel secara ilmiah atau jurnalistik. Kepercayaan pribadi mengalahkan verifikasi faktual.
Volume informasi yang sangat besar di internet, sering disebut sebagai “banjir informasi”, dapat menyebabkan kelelahan kognitif. Kita tidak memiliki waktu, energi, atau kapasitas kognitif untuk memverifikasi setiap informasi yang kita terima. Dalam kondisi ini, seringkali kita cenderung mengambil jalan pintas mental (heuristik) dan menerima informasi yang disajikan dengan cara yang paling mudah dipahami, paling menarik, atau yang paling sesuai dengan intuisi atau keyakinan awal kita, daripada melakukan investigasi mendalam. Ditambah lagi, kurangnya literasi digital dan keterampilan penting untuk memverifikasi sumber (seperti memeriksa URL, mencari sumber primer, atau membandingkan dengan laporan media arus utama yang terpercaya) membuat kita semakin rentan terhadap manipulasi dan penyebaran hoaks.
Meskipun diskonansi kognitif digital tampak sulit diatasi karena berakar pada cara kerja otak dan interaksi sosial kita, ada beberapa strategi yang bisa kita terapkan untuk meminimalkan dampaknya dan membangun pertahanan mental yang lebih kuat:
Diskonansi kognitif digital adalah fenomena kompleks yang menggarisbawahi tantangan besar di era informasi. Ini menunjukkan bahwa akal sehat saja tidak cukup untuk menangkal hoaks; kita juga harus memahami bagaimana psikologi manusia berinteraksi dengan lanskap digital. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana pikiran kita bekerja, mengapa kita rentan terhadap hoaks, dan strategi yang tepat, kita dapat memperkuat pertahanan diri kita terhadap informasi yang salah dan menyesatkan. Mampu membedakan fakta dari fiksi bukan hanya penting untuk individu, tetapi juga krusial untuk kesehatan demokrasi, integritas wacana publik, dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Mari kita jadikan diri kita pembaca digital yang lebih cerdas, lebih kritis, dan lebih bertanggung jawab.