Ketika Realitas Ganda Merusak Jiwa: Fenomena Anomie di Era Digital

⏱️ estimasi waktu baca: 5 menit.

Kita semua adalah warga dari dua dunia yang berbeda: dunia nyata yang kita pijak dan dunia maya yang kita genggam di telapak tangan. Di dunia nyata, gravitasi, sentuhan, dan percakapan tatap muka adalah hukumnya. Di dunia maya, kita adalah editor, sutradara, dan aktor dari versi terbaik diri kita sendiri.

Awalnya, dualitas ini terasa seperti anugerah. Kita bisa terhubung tanpa batas, membangun karier, dan menciptakan identitas ideal. Namun, di balik semua koneksi itu, sebuah celah berbahaya mulai terbuka. Fenomena yang disebut anomie digital ini muncul ketika dua realitas ini saling berbenturan, merusak jiwa dan merenggut makna hidup kita. Ini bukan sekadar kelelahan menatap layar, melainkan sebuah krisis identitas yang mendalam, di mana kita merasa terasing dari diri sendiri di tengah keramaian digital.


Mekanisme Anomie Digital: Dari Komparasi Sosial Hingga Disintegrasi Identitas

Untuk memahami anomie digital, kita perlu menengok kembali pada dua konsep utama dalam psikologi dan sosiologi: Teori Komparasi Sosial dan Teori Identitas Sosial.

Menurut Teori Komparasi Sosial, manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk membandingkan diri dengan orang lain. Sebelum era digital, komparasi ini terjadi dalam lingkup sosial yang terbatas—tetangga, teman sekolah, atau rekan kerja. Di era digital, algoritma media sosial memaparkan kita pada “versi terbaik” dari ribuan, bahkan jutaan, orang secara terus-menerus. Kita tidak lagi membandingkan diri dengan orang-orang di sekitar, melainkan dengan standar global yang sering kali tidak realistis. Perbedaan antara diri kita yang “biasa” dengan “versi terbaik” dari orang lain ini menciptakan jurang perbandingan yang tidak mungkin diatasi, yang pada akhirnya memicu perasaan inferioritas dan kehampaan.

Pada saat yang sama, Teori Identitas Sosial menjelaskan bahwa identitas kita terbentuk dari peran-peran yang kita mainkan di berbagai kelompok sosial. Di dunia maya, kita memainkan peran yang terfragmentasi—versi profesional di LinkedIn, versi bahagia di Instagram, dan versi humoris di TikTok. Setiap peran ini memiliki seperangkat norma dan ekspektasi tersendiri. Ketika kita terus-menerus beralih peran, tanpa ada inti diri yang konsisten, kita mengalami disintegrasi identitas. Kita merasa seperti aktor yang kehilangan naskah, tidak tahu lagi siapa diri kita di balik semua topeng digital.


Hilangnya ‘Sense of Self’ dan Keterasingan Kolektif

Anomie digital tidak hanya mengisolasi kita secara individu, tetapi juga menciptakan keterasingan kolektif. Norma-norma yang tadinya mengikat kita sebagai sebuah komunitas—seperti empati, sopan santun dalam berinteraksi, dan tanggung jawab sosial—menjadi kabur. Interaksi di dunia maya seringkali bersifat anonim atau asynchronous, yang memungkinkan perilaku yang tidak akan kita tunjukkan di dunia nyata. Ini mencakup cyberbullying, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian.

Ketika kita berada dalam situasi ini, kita kehilangan pegangan pada apa yang benar dan salah. Kita melihat orang lain melanggar norma tanpa konsekuensi, yang dapat memicu perasaan frustrasi dan kebingungan moral. Pertanyaan fundamental seperti “apa itu kebenaran?” atau “apa itu empati?” menjadi kabur, yang pada akhirnya merusak fondasi kepercayaan antarindividu dan memicu ketidakpercayaan yang meluas.


Strategi Membangun Jembatan: Menyatukan Kembali Dua Realitas

Mengatasi anomie digital bukanlah tentang menolak teknologi, melainkan tentang menyatukan kembali realitas ganda menjadi satu kesatuan yang koheren dan sehat. Ini adalah proses restorasi diri yang membutuhkan kesadaran dan tindakan yang disengaja.

  1. Mengidentifikasi & Mengelola Pemicu: Gunakan jurnal digital atau catatan harian untuk melacak perasaan Anda saat menggunakan media sosial. Tuliskan apa yang Anda lihat, bagaimana perasaan Anda, dan apa pemicunya. Dengan mengenali pola ini, Anda dapat mengendalikan respons emosional Anda, alih-alih membiarkan algoritma mengendalikan suasana hati Anda.
  1. Membentuk Lingkaran Koherensi Identitas: Alih-alih berusaha menjadi “sempurna” di semua platform, pilih satu atau dua nilai inti (misalnya, kreativitas atau empati) yang ingin Anda jadikan dasar identitas Anda, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dengan demikian, Anda memiliki “pusat gravitasi” yang mencegah identitas Anda terfragmentasi.
  1. Investasi pada Keterampilan Dunia Nyata: Luangkan waktu untuk mengasah keterampilan yang tidak dapat diukur oleh metrik digital. Belajar memasak, memainkan alat musik, atau membangun sesuatu dengan tangan Anda. Aktivitas ini memberikan rasa pencapaian yang nyata dan membumi, yang dapat mengimbangi kekosongan dari validasi digital.
  1. Menciptakan “Ruang Ketenangan Digital”: Tentukan waktu dan tempat di mana Anda tidak akan menggunakan gawai. Ini bisa jadi meja makan, tempat tidur, atau bahkan hanya 30 menit pertama setelah bangun tidur. Ruang ini menjadi “zona bebas anomie,” di mana Anda bisa terhubung kembali dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar Anda tanpa gangguan.

Anomie digital adalah pengingat yang tajam bahwa teknologi, sekuat apa pun ia, hanyalah alat, bukan pengganti kehidupan. Ia telah menciptakan jurang antara diri kita yang sesungguhnya dengan versi yang kita proyeksikan di dunia maya. Namun, keretakan ini bukanlah akhir dari segalanya.

Jalan keluar dari anomie digital adalah dengan menyatukan kembali kedua realitas ini. Ini adalah perjalanan untuk kembali ke “rumah”—ke diri kita yang sejati—yang tidak membutuhkan validasi eksternal. Dengan menanamkan kesadaran, memprioritaskan hubungan yang tulus, dan berinvestasi pada hal-hal yang nyata, kita bisa menjembatani jurang yang ada. Kita bisa memegang kendali atas narasi hidup kita, kembali menjadi utuh, dan menemukan kedamaian yang tidak bisa dibeli oleh “like” atau “follower”. Dunia maya mungkin menawarkan panggung tanpa batas, tetapi makna dan kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan saat kita kembali ke dunia nyata.

Leave a reply

DUKUNG KAMI

Dukung misi kami menghadirkan konten edukatif, reflektif, dan penuh semangat positif.
Anda bisa berdonasi langsung melalui tombol kontribusi Google di bawah ini.

DUKUNG KAMI

Dukung misi kami menghadirkan konten edukatif, reflektif, dan penuh semangat positif.
Anda bisa berdonasi langsung melalui tombol kontribusi Google di bawah ini.

Tetap terinformasi dengan berita positif dan inspiratif.

Bersedia untuk menerima informasi dan berita dari DUS.ID melalui email. Untuk informasi lebih lanjut, silakan tinjau Kebijakan Privasi

DUS Channel
Search
RANDOM
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...

All fields are required.