Sepanjang sejarah, manusia telah menciptakan, menyebarkan, dan mempertahankan mitos—kisah-kisah yang menantang logika namun tetap dipercaya secara luas. Dari legenda kuno tentang makhluk mistis hingga teori konspirasi modern yang menyebar di internet, fenomena ini berulang tanpa mengenal batas waktu atau budaya. Mengapa kita cenderung mempercayai mitos, bahkan ketika bukti bertentangan telah tersedia? Artikel ini mengupas lebih dalam tentang bagaimana otak kita bekerja dalam menerima mitos, bagaimana faktor sosial memperkuat kepercayaan tersebut, dan apa dampaknya bagi masyarakat serta individu.
Manusia adalah makhluk yang hidup dan berkembang melalui cerita. Sejak zaman prasejarah, informasi diturunkan melalui dongeng dan mitos yang membantu masyarakat memahami dunia. Narasi memiliki struktur yang kuat, dengan unsur konflik, solusi, dan pelajaran moral—membuatnya lebih menarik dibandingkan fakta yang disajikan secara abstrak.
Sebagai contoh, mitos tentang Dracula tidak hanya menakutkan, tetapi juga menggambarkan ketakutan masyarakat terhadap penyakit menular dan kematian. Dibandingkan dengan penjelasan ilmiah tentang epidemi yang disebabkan oleh virus atau bakteri, cerita tentang vampir jauh lebih mudah diingat dan diterima.
Selain itu, cerita yang membangkitkan emosi cenderung lebih menempel dalam ingatan. Penelitian dalam neurologi menunjukkan bahwa otak kita lebih responsif terhadap informasi yang menimbulkan perasaan takut, kagum, atau kebingungan—membantu menjelaskan mengapa mitos dapat bertahan selama berabad-abad.
Kepercayaan terhadap mitos tidak hanya berasal dari daya tarik naratif, tetapi juga dari cara otak kita memproses informasi. Manusia memiliki banyak bias kognitif yang berkontribusi terhadap kecenderungan ini:
Bias-bias ini menyebabkan kita sering menerima informasi tanpa memverifikasinya terlebih dahulu. Media sosial dan algoritma mesin pencari semakin memperkuat bias konfirmasi, karena mereka sering menyajikan informasi yang cocok dengan opini kita tanpa menampilkan perspektif yang berlawanan.
Mitos tidak hanya bertahan karena psikologi individu tetapi juga karena pengaruh sosial. Dalam banyak budaya, mitos berfungsi sebagai alat untuk menjaga identitas kelompok, menjelaskan fenomena alam, dan meneruskan nilai-nilai moral. Mitos juga sering digunakan untuk memberikan struktur sosial dan kontrol, seperti cerita rakyat yang menakut-nakuti anak-anak agar tidak keluar malam.
Selain itu, tekanan sosial berkontribusi terhadap keberlangsungan mitos. Jika mayoritas orang dalam suatu komunitas mempercayai sesuatu, individu cenderung mengikuti kepercayaan tersebut demi diterima oleh kelompok. Fenomena ini terlihat dalam banyak aspek kehidupan, seperti astrologi, takhayul tentang angka keberuntungan, dan bahkan teori konspirasi global.
Dalam menghadapi ketidakpastian dunia, manusia secara alami mencari pola dan penjelasan yang memberikan rasa kontrol. Ini menjelaskan mengapa mitos sering muncul dalam situasi krisis—seperti pandemi atau perubahan sosial yang drastis. Kepercayaan terhadap mitos memberikan kepastian bagi individu yang merasa tidak berdaya menghadapi dunia yang kompleks.
Misalnya, teori konspirasi yang berkembang selama pandemi COVID-19 banyak dipercaya karena memberikan “penjelasan alternatif” terhadap kejadian yang sulit dimengerti. Daripada menerima kenyataan bahwa virus dapat muncul secara alami dan menyebar karena pola mobilitas manusia, sebagian orang lebih mudah percaya bahwa pandemi adalah hasil manipulasi tersembunyi oleh pihak-pihak tertentu.
Kepercayaan terhadap mitos juga dapat membantu seseorang menghadapi stres dan ketidakpastian personal. Banyak orang merasa lebih nyaman percaya pada takhayul tertentu, seperti mengenakan pakaian keberuntungan sebelum ujian atau menghindari angka 13.
Mitos adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia—dari kisah kuno hingga teori modern yang menyebar melalui internet. Daya tarik narasi, bias kognitif, pengaruh sosial, dan kebutuhan psikologis akan kontrol semua berkontribusi terhadap kecenderungan kita untuk percaya pada mitos.
Namun, memahami cara kerja otak dan mekanisme sosial ini dapat membantu kita menjadi individu yang lebih kritis dan rasional dalam menyaring informasi. Dengan pendekatan berbasis fakta, skeptisisme yang sehat, serta kemampuan untuk mempertanyakan kepercayaan populer, kita dapat menghindari jebakan kepercayaan yang tidak berdasar.
Seberapa sering kamu menemukan mitos dalam kehidupan sehari-hari? Pernahkah kamu percaya pada sesuatu, lalu kemudian menyadari bahwa itu tidak benar?