Serial Menunda Dewasa 1: Kidulting dan Budaya Menolak Tanggung Jawab

⏱️ estimasi waktu baca: 6 menit.

Pendahuluan: Ketika Dunia Dewasa Lebih Sibuk Mengoleksi Mainan daripada Mengurus Cicilan

Di rak kamar seorang pria usia 30-an, berdampingan dengan buku investasi dan laptop kerja, berdiri rapi koleksi Gundam, Funko Pop, dan LEGO Botanical Collection. Ia lebih antusias menunggu rilis mainan edisi terbaru daripada membahas cicilan rumah atau asuransi jiwa. Di media sosial, seorang wanita dewasa mengenakan kostum karakter kartun 90-an, tersenyum bangga di konvensi cosplay.

Fenomena ini tampak ringan, bahkan menggemaskan. Tapi di balik warna pastel dan nostalgia, muncul pertanyaan reflektif:

Apakah ini bentuk pelarian? Atau penolakan terhadap kedewasaan dan tanggung jawab?

Kidulting bukan sekadar tren visual. Ia adalah cerminan zaman — di mana batas antara anak-anak dan orang dewasa semakin kabur, dan kedewasaan tak lagi diukur dari pencapaian konvensional. Artikel ini mengajak kita menyelami fenomena yang tampak ringan, namun menyimpan lapisan psikologis dan sosial yang kompleks.


Bagian 1: Apa Itu Kidulting?

Kidulting adalah gabungan dari kata kid dan adult, merujuk pada orang dewasa yang secara sadar menikmati aktivitas, benda, atau estetika masa kanak-kanak. Istilah ini mulai populer di awal 2000-an, namun maknanya terus berkembang — dari nostalgia sesaat menjadi gaya hidup dan identitas sosial yang sah.

Kidulting bukan sekadar “bermain-main.” Ia adalah bentuk ekspresi diri yang melampaui usia biologis. Dalam dunia yang semakin menuntut efisiensi dan produktivitas, kidulting menawarkan ruang untuk kehangatan, spontanitas, dan rasa aman yang sering hilang dalam rutinitas dewasa.

Contoh tren yang menonjol:

  • LEGO merilis seri khusus dewasa seperti Architecture Series dan Botanical Collection, yang dirancang bukan untuk anak-anak, melainkan untuk orang dewasa yang mencari ketenangan dan tantangan visual.
  • Cosplay lintas usia di berbagai konvensi pop culture menjadi ajang ekspresi identitas, bukan sekadar hobi. Banyak peserta adalah profesional yang menjadikan cosplay sebagai bentuk pelarian kreatif dan komunitas sosial.
  • Kartun nostalgia seperti Doraemon, Sailor Moon, dan Pokémon kembali hadir dalam bentuk merchandise, fashion, bahkan filosofi hidup. Mereka bukan sekadar karakter, tapi simbol masa kecil yang ideal.
  • Estetika retro-pop dan warna pastel mendominasi media sosial, menciptakan ruang visual yang hangat, playful, dan anti-kaku — kontras dengan dunia kerja yang sering monoton dan penuh tekanan.

Kidulting adalah cara baru untuk menjadi dewasa: bukan dengan menanggalkan masa kecil, tapi dengan merangkulnya sebagai bagian dari identitas yang utuh.


Bagian 2: Faktor Pendorong Budaya Kidulting – Ketidakstabilan Ekonomi dan Ketidakpastian Masa Depan

Generasi Milenial dan Generasi Z tumbuh dalam lanskap ekonomi yang rapuh. Harga rumah melambung, utang pendidikan menumpuk, dan stabilitas kerja makin langka. Banyak dari mereka yang bekerja keras, namun tetap merasa jauh dari pencapaian finansial yang dulu dianggap sebagai tanda kedewasaan.

Dalam kondisi seperti ini, milestone tradisional seperti menikah, punya anak, atau membeli rumah sering kali tertunda. Kidulting hadir sebagai pelipur lara dan bentuk kontrol atas kebahagiaan. Mainan dan aktivitas masa kecil menjadi ruang aman di tengah dunia dewasa yang tak ramah.

Studi menunjukkan bahwa penundaan milestone dewasa berkorelasi dengan peningkatan konsumsi produk nostalgia. Kidulting menjadi bentuk “pengendalian mikro” atas kebahagiaan—di saat dunia makro tak bisa dikendalikan.

Tekanan Sosial dan Idealisasi Masa Kecil

Dalam psikologi, kidulting bisa dilihat sebagai bentuk:

  • Regresi: kembali ke fase perkembangan yang lebih aman dan bebas dari tuntutan. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan respons terhadap tekanan yang berlebihan.
  • Sublimasi: mengalihkan tekanan emosional ke aktivitas yang diterima sosial, seperti mengoleksi mainan atau cosplay. Ini adalah bentuk coping yang kreatif dan produktif.
  • Self-compassion: memberi ruang untuk bernapas dan merawat diri. Kidulting menjadi cara untuk berkata, “Aku berhak merasa aman dan bahagia.”

Masa kecil yang ideal — tanpa tagihan, tanpa ekspektasi sosial — menjadi fantasi kolektif. Kidulting bukan hanya nostalgia, tapi juga bentuk inner child healing. Terapi psikodinamik sering menggunakan simbol masa kecil untuk membuka trauma dewasa. Kidulting bisa menjadi ritual penyembuhan yang tidak disadari — dari burnout, relasi yang gagal, atau tekanan sosial yang terus-menerus.

Peran Media dan Algoritma Nostalgia

Platform seperti TikTok dan Instagram memperkuat tren ini. Algoritma mendorong konten yang memicu emosi positif dan nostalgia. Kartun lama, mainan vintage, dan estetika retro-pop menjadi viral, menciptakan budaya visual yang playful dan anti-konvensional.

Fenomena ini disebut “emotional looping”—di mana pengguna terus mencari rasa nyaman dari masa lalu. Kidulting menjadi gaya hidup yang didorong bukan hanya oleh pilihan pribadi, tapi juga oleh sistem digital yang mengulang masa lalu.

Media sosial bukan hanya cermin, tapi juga mesin penguat. Ia memperkuat rasa “boleh” untuk bermain, untuk tidak serius, untuk menjadi dewasa dengan cara yang tidak konvensional.


Bagian 3: Kidulting vs Kedewasaan – Apakah Bisa Berdampingan?

Jawabannya: bisa, selama ia tidak menjadi penghindaran tanggung jawab.
Kidulting yang sehat adalah bentuk ekspresi diri, terapi, dan komunitas. Tapi ketika ia menjadi pelarian dari kewajiban, relasi, atau pertumbuhan emosional, kidulting bisa menjadi bentuk stagnasi.

Dalam teori Erik Erikson, fase dewasa muda diwarnai oleh krisis antara intimacy vs isolation dan generativity vs stagnation. Kidulting bisa menjadi:

  • Jembatan menuju intimacy: melalui komunitas fandom dan koleksi bersama, individu membangun relasi yang hangat dan saling mendukung.
  • Bentuk generativitas alternatif: menciptakan, merawat, dan membagikan karya atau koleksi sebagai kontribusi budaya. Ini adalah bentuk produktivitas yang tidak selalu berbentuk karier atau keluarga.

Namun, ia juga bisa menjadi ruang isolasi jika tidak diimbangi dengan refleksi dan tanggung jawab.
Tanda kidulting sehat adalah ketika seseorang tetap mampu mengelola keuangan, relasi, dan pekerjaan sambil menikmati dunia anak.
Sebaliknya, kidulting maladaptif muncul ketika seseorang menghindari konflik, menunda keputusan penting, dan menarik diri dari dunia sosial.

Dari sudut neuropsikologi, aktivitas seperti bermain, mengoleksi, atau cosplay memicu sistem reward otak—meningkatkan dopamin dan memberi rasa pencapaian. Tapi jika digunakan berlebihan sebagai pelarian, sistem ini bisa menciptakan ketergantungan emosional yang menghambat pertumbuhan.

Kidulting bukan musuh kedewasaan. Ia bisa menjadi sekutu, jika kita tahu kapan bermain dan kapan bertanggung jawab.


Kesimpulan: Kidulting sebagai Cermin Zaman

Kidulting bukan sekadar tren visual atau gaya hidup. Ia adalah cerminan zaman yang penuh tekanan, ketidakpastian, dan pencarian makna. Dunia dewasa tak lagi kaku — ia bisa bermain, tertawa, dan menyembuhkan luka masa kecil.

Menjadi dewasa tak berarti kehilangan sisi anak dalam diri kita. Justru, mungkin di sanalah letak kedewasaan sejati: mampu merawat, memahami, dan berdamai dengan semua versi diri kita.

Kidulting mengajak kita untuk mendefinisikan ulang apa arti “menjadi dewasa.” Bukan soal cicilan, jabatan, atau status sosial — melainkan soal keseimbangan antara tanggung jawab dan kelembutan terhadap diri sendiri.

Namun, tidak semua yang menunda dewasa melakukannya karena budaya.
Ada yang mengalami kebingungan identitas yang lebih dalam — terutama di usia 20-an.
Kita akan menyusurinya di artikel berikutnya.

Leave a reply

DUKUNG KAMI

Dukung misi kami menghadirkan konten edukatif, reflektif, dan penuh semangat positif.
Anda bisa berdonasi langsung melalui tombol kontribusi Google di bawah ini.

DUKUNG KAMI

Dukung misi kami menghadirkan konten edukatif, reflektif, dan penuh semangat positif.
Anda bisa berdonasi langsung melalui tombol kontribusi Google di bawah ini.

Tetap terinformasi dengan berita positif dan inspiratif.

Bersedia untuk menerima informasi dan berita dari DUS.ID melalui email. Untuk informasi lebih lanjut, silakan tinjau Kebijakan Privasi

DUS Channel
Search
RANDOM
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...

All fields are required.