Di rak kamar seorang pria usia 30-an, berdampingan dengan buku investasi dan laptop kerja, berdiri rapi koleksi Gundam, Funko Pop, dan LEGO Botanical Collection. Ia lebih antusias menunggu rilis mainan edisi terbaru daripada membahas cicilan rumah atau asuransi jiwa. Di media sosial, seorang wanita dewasa mengenakan kostum karakter kartun 90-an, tersenyum bangga di konvensi cosplay.
Fenomena ini tampak ringan, bahkan menggemaskan. Tapi di balik warna pastel dan nostalgia, muncul pertanyaan reflektif:
Apakah ini bentuk pelarian? Atau penolakan terhadap kedewasaan dan tanggung jawab?
Kidulting bukan sekadar tren visual. Ia adalah cerminan zaman — di mana batas antara anak-anak dan orang dewasa semakin kabur, dan kedewasaan tak lagi diukur dari pencapaian konvensional. Artikel ini mengajak kita menyelami fenomena yang tampak ringan, namun menyimpan lapisan psikologis dan sosial yang kompleks.
Kidulting adalah gabungan dari kata kid dan adult, merujuk pada orang dewasa yang secara sadar menikmati aktivitas, benda, atau estetika masa kanak-kanak. Istilah ini mulai populer di awal 2000-an, namun maknanya terus berkembang — dari nostalgia sesaat menjadi gaya hidup dan identitas sosial yang sah.
Kidulting bukan sekadar “bermain-main.” Ia adalah bentuk ekspresi diri yang melampaui usia biologis. Dalam dunia yang semakin menuntut efisiensi dan produktivitas, kidulting menawarkan ruang untuk kehangatan, spontanitas, dan rasa aman yang sering hilang dalam rutinitas dewasa.
Contoh tren yang menonjol:
Kidulting adalah cara baru untuk menjadi dewasa: bukan dengan menanggalkan masa kecil, tapi dengan merangkulnya sebagai bagian dari identitas yang utuh.
Generasi Milenial dan Generasi Z tumbuh dalam lanskap ekonomi yang rapuh. Harga rumah melambung, utang pendidikan menumpuk, dan stabilitas kerja makin langka. Banyak dari mereka yang bekerja keras, namun tetap merasa jauh dari pencapaian finansial yang dulu dianggap sebagai tanda kedewasaan.
Dalam kondisi seperti ini, milestone tradisional seperti menikah, punya anak, atau membeli rumah sering kali tertunda. Kidulting hadir sebagai pelipur lara dan bentuk kontrol atas kebahagiaan. Mainan dan aktivitas masa kecil menjadi ruang aman di tengah dunia dewasa yang tak ramah.
Studi menunjukkan bahwa penundaan milestone dewasa berkorelasi dengan peningkatan konsumsi produk nostalgia. Kidulting menjadi bentuk “pengendalian mikro” atas kebahagiaan—di saat dunia makro tak bisa dikendalikan.
Dalam psikologi, kidulting bisa dilihat sebagai bentuk:
Masa kecil yang ideal — tanpa tagihan, tanpa ekspektasi sosial — menjadi fantasi kolektif. Kidulting bukan hanya nostalgia, tapi juga bentuk inner child healing. Terapi psikodinamik sering menggunakan simbol masa kecil untuk membuka trauma dewasa. Kidulting bisa menjadi ritual penyembuhan yang tidak disadari — dari burnout, relasi yang gagal, atau tekanan sosial yang terus-menerus.
Platform seperti TikTok dan Instagram memperkuat tren ini. Algoritma mendorong konten yang memicu emosi positif dan nostalgia. Kartun lama, mainan vintage, dan estetika retro-pop menjadi viral, menciptakan budaya visual yang playful dan anti-konvensional.
Fenomena ini disebut “emotional looping”—di mana pengguna terus mencari rasa nyaman dari masa lalu. Kidulting menjadi gaya hidup yang didorong bukan hanya oleh pilihan pribadi, tapi juga oleh sistem digital yang mengulang masa lalu.
Media sosial bukan hanya cermin, tapi juga mesin penguat. Ia memperkuat rasa “boleh” untuk bermain, untuk tidak serius, untuk menjadi dewasa dengan cara yang tidak konvensional.
Jawabannya: bisa, selama ia tidak menjadi penghindaran tanggung jawab.
Kidulting yang sehat adalah bentuk ekspresi diri, terapi, dan komunitas. Tapi ketika ia menjadi pelarian dari kewajiban, relasi, atau pertumbuhan emosional, kidulting bisa menjadi bentuk stagnasi.
Dalam teori Erik Erikson, fase dewasa muda diwarnai oleh krisis antara intimacy vs isolation dan generativity vs stagnation. Kidulting bisa menjadi:
Namun, ia juga bisa menjadi ruang isolasi jika tidak diimbangi dengan refleksi dan tanggung jawab.
Tanda kidulting sehat adalah ketika seseorang tetap mampu mengelola keuangan, relasi, dan pekerjaan sambil menikmati dunia anak.
Sebaliknya, kidulting maladaptif muncul ketika seseorang menghindari konflik, menunda keputusan penting, dan menarik diri dari dunia sosial.
Dari sudut neuropsikologi, aktivitas seperti bermain, mengoleksi, atau cosplay memicu sistem reward otak—meningkatkan dopamin dan memberi rasa pencapaian. Tapi jika digunakan berlebihan sebagai pelarian, sistem ini bisa menciptakan ketergantungan emosional yang menghambat pertumbuhan.
Kidulting bukan musuh kedewasaan. Ia bisa menjadi sekutu, jika kita tahu kapan bermain dan kapan bertanggung jawab.
Kidulting bukan sekadar tren visual atau gaya hidup. Ia adalah cerminan zaman yang penuh tekanan, ketidakpastian, dan pencarian makna. Dunia dewasa tak lagi kaku — ia bisa bermain, tertawa, dan menyembuhkan luka masa kecil.
Menjadi dewasa tak berarti kehilangan sisi anak dalam diri kita. Justru, mungkin di sanalah letak kedewasaan sejati: mampu merawat, memahami, dan berdamai dengan semua versi diri kita.
Kidulting mengajak kita untuk mendefinisikan ulang apa arti “menjadi dewasa.” Bukan soal cicilan, jabatan, atau status sosial — melainkan soal keseimbangan antara tanggung jawab dan kelembutan terhadap diri sendiri.
Namun, tidak semua yang menunda dewasa melakukannya karena budaya.
Ada yang mengalami kebingungan identitas yang lebih dalam — terutama di usia 20-an.
Kita akan menyusurinya di artikel berikutnya.