Serial Menunda Dewasa 2: Quarter-Life Crisis – Bingung, Mandek, atau Menolak Tumbuh

⏱️ estimasi waktu baca: 8 menit.

Usia 25 ke atas sering disebut sebagai masa “seharusnya sudah tahu arah.” Tapi bagaimana jika justru di titik ini, banyak dari kita merasa makin bingung? Sudah bekerja, punya pasangan, mungkin bahkan tinggal sendiri — namun tetap muncul pertanyaan yang mengganggu di tengah malam: “Apa sebenarnya yang sedang saya jalani?”

Bukan karena hidupmu berantakan. Justru karena dari luar, semuanya terlihat baik-baik saja. Tapi di dalam, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Seperti sedang berdiri di tengah jalan bercabang, tapi semua arah tampak buram.

Fenomena ini dikenal sebagai quarter-life crisis — fase ketika identitas, arah hidup, dan makna mulai dipertanyakan secara serius. Tapi apakah ini hanya kebingungan sementara, atau ada sesuatu yang lebih dalam? Apakah kita sedang mencari arah, atau sebenarnya sedang menolak tumbuh?

Artikel ini mengajak kamu menyelami perbedaan antara krisis identitas usia dewasa muda dan penolakan aktif terhadap kedewasaan. Bukan untuk memberi jawaban instan, tapi untuk membuka ruang refleksi: agar kamu bisa mengenali posisi, memahami dinamika, dan mungkin — menemukan arah yang lebih jujur.


Bagian 1: Apa Itu Quarter-Life Crisis?

Quarter-life crisis adalah istilah yang merujuk pada fase kebingungan eksistensial yang umum terjadi di usia antara 20 sampai 30-an. Meski tidak tergolong gangguan psikologis klinis, fenomena ini diakui dalam psikologi perkembangan sebagai masa transisi yang penuh tekanan dan ambiguitas.

Krisis ini sering kali muncul ketika seseorang merasa bahwa hidupnya tidak berjalan sesuai harapan, meskipun secara objektif ia telah mencapai beberapa “milestone” dewasa: pekerjaan tetap, relasi romantis, atau kemandirian finansial. Namun di balik pencapaian itu, ada rasa tidak puas, tidak cukup, dan tidak tahu arah.

Beberapa gejala khasnya meliputi:

  • Ketidakpastian arah hidup, meski sudah punya “pekerjaan mapan”.
  • Perasaan stagnan atau kehilangan makna dalam rutinitas.
  • Tekanan sosial untuk “berhasil” sebelum usia 30.
  • Kecemasan eksistensial dan rasa “tertinggal” dari teman sebaya.

Dalam teori Erik Erikson, fase ini berada di antara dua tugas perkembangan: Intimacy vs. Isolation dan Generativity vs. Stagnation. Artinya, kita sedang belajar membangun relasi yang bermakna sekaligus mencari kontribusi yang relevan dalam hidup. Ketika dua hal ini belum terpenuhi, muncullah krisis.

Psikolog James Marcia juga menyoroti empat status identitas: diffusion (belum mengeksplorasi dan belum berkomitmen), foreclosure (komitmen tanpa eksplorasi), moratorium (eksplorasi aktif tanpa komitmen), dan achievement (eksplorasi yang diikuti komitmen). Quarter-life crisis sering terjadi pada fase moratorium — ketika kita sedang mencari, tapi belum menemukan.


Bagian 2: Mengapa Krisis Ini Terjadi?

Quarter-life crisis bukan muncul begitu saja. Ia dipicu oleh dinamika internal dan eksternal yang saling bertabrakan. Mari kita bedah beberapa penyebab utamanya.

A. Perbandingan dengan Masa Remaja

Saat remaja, kita bebas bermimpi. Dunia terasa luas dan penuh kemungkinan. Kita bisa membayangkan diri menjadi penulis, arsitek, musisi, atau pengusaha sukses — tanpa batasan realitas. Tapi ketika memasuki usia dewasa muda, pilihan hidup mulai terasa sempit dan penuh konsekuensi. Impian harus diuji oleh waktu, biaya, dan tanggung jawab.

Perubahan ini menciptakan disonansi naratif: skrip hidup yang dulu penuh petualangan kini digantikan oleh rutinitas dan ekspektasi. Kita mulai bertanya, “Apakah ini hidup yang saya inginkan, atau hanya hidup yang saya jalani?”

B. Peran Media Sosial dan Ekspektasi Kolektif

Media sosial memperbesar distorsi persepsi tentang pencapaian. Kita melihat teman sebaya menikah, punya anak, membeli rumah, atau meraih gelar lanjutan — semua dalam satu scroll. Padahal, kita tidak melihat perjuangan, keraguan, atau kegagalan di balik layar.

Teori social comparison dari Leon Festinger menjelaskan bahwa manusia cenderung menilai diri berdasarkan standar eksternal. Ketika standar itu dibentuk oleh algoritma dan estetika media sosial, kita mudah merasa “tertinggal”, meski sebenarnya sedang berproses.

Fenomena FOMO (fear of missing out) dan imposter syndrome juga memperparah krisis ini. Kita merasa tidak cukup, tidak layak, dan tidak tahu bagaimana mengejar ketertinggalan yang mungkin hanya ilusi.

C. Perasaan Tidak Cukup

Meski sudah “punya semua”, tetap merasa belum jadi siapa-siapa. Ini disebut identity dissonance — konflik antara citra diri ideal dan realitas aktual. Kita merasa gagal bukan karena objektif, tapi karena narasi sosial yang kita telan mentah-mentah.

Narasi “dewasa ideal” sering kali mengandung mitos: bahwa dewasa berarti stabil, mapan, dan tahu arah. Padahal, dewasa bisa berarti terus belajar, beradaptasi, dan menerima ketidakpastian sebagai bagian dari proses.


Bagian 3: Quarter-Life Crisis vs Penolakan Tumbuh Dewasa

Penting untuk membedakan antara kebingungan eksistensial dan penolakan aktif terhadap kedewasaan.

Quarter-life crisis adalah tanda bahwa kita sedang mencari arah. Tapi ada juga yang secara sadar atau tidak, menolak tumbuh dewasa. Ini bisa muncul dalam bentuk:

  • Menghindari komitmen jangka panjang.
  • Menolak tanggung jawab sosial atau finansial.
  • Menjaga gaya hidup remaja secara ekstrem.
  • Menolak struktur dan rutinitas yang dianggap “membosankan”.

Dalam psikologi klinis, ini bisa dikaitkan dengan Peter Pan syndrome — istilah populer untuk individu yang enggan meninggalkan zona nyaman masa muda karena takut kehilangan kebebasan atau identitas. Ada juga istilah adultolescence, yaitu kondisi ketika seseorang secara usia sudah dewasa, tapi secara perilaku masih remaja.

Penolakan ini bisa bersifat defensif. Ia muncul sebagai mekanisme pertahanan terhadap trauma, tekanan, atau rasa tidak aman. Beberapa orang menolak tumbuh karena takut gagal, takut ditolak, atau takut kehilangan versi diri yang “bebas dan menyenangkan”.

Kebingungan adalah proses. Penolakan adalah resistensi.


Bagian 4: Latihan Reflektif — Mengenali Diri di Tengah Krisis

Quarter-life crisis bukan hanya soal bingung memilih karier atau merasa tertinggal dari teman sebaya. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih halus: rasa jenuh yang tak jelas asalnya, pertanyaan tentang makna hidup, atau dorongan untuk “mengubah sesuatu” tanpa tahu apa.

Di titik ini, mengenali diri menjadi langkah penting. Bukan untuk menemukan jawaban instan, tapi untuk mulai memahami arah yang terasa lebih jujur dan sesuai dengan ritme pribadi.

Refleksi bukan hanya untuk mereka yang sedang “terjebak”. Ia relevan bagi siapa pun yang ingin hidup lebih sadar — terlepas dari apakah kamu sedang galau, nyaman, atau sekadar ingin meninjau ulang pilihan hidup.

Beberapa pertanyaan reflektif yang bisa direnungkan:

  • Apa yang membuat saya merasa hidup dan bersemangat?
  • Nilai apa yang paling saya pegang, meski tidak selalu saya sadari?
  • Dalam hal apa saya merasa paling “jadi diri sendiri”?
  • Apakah saya menjalani hidup sesuai ritme saya, atau mengikuti arus yang tidak saya pilih?

Kamu bisa menuliskannya, membicarakannya dengan teman, atau cukup memikirkannya dalam perjalanan pulang. Tidak ada cara yang benar atau salah — yang penting adalah kejujuran dan keberanian untuk melihat ke dalam.

Dalam psikologi positif, ada konsep self-concordant goals — tujuan yang selaras dengan nilai pribadi cenderung lebih memuaskan dan berkelanjutan. Sementara growth mindset mengajak kita melihat tantangan sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman terhadap identitas.

Refleksi bukan akhir dari krisis. Tapi ia bisa menjadi titik awal untuk menyusun ulang narasi hidup — bukan berdasarkan ekspektasi sosial, melainkan berdasarkan versi dewasa yang kamu pilih sendiri.


Bagian 5: Quarter-Life Crisis Sebagai Pintu Masuk Pertumbuhan

Krisis bukan akhir. Ia bisa menjadi awal.

Ketika kita berani mengakui kebingungan, kita membuka ruang untuk eksplorasi ulang. Kita mulai menyusun ulang skrip hidup, bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, tapi untuk menemukan makna yang lebih dalam.

Psikolog Viktor Frankl menulis bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan jika ia menemukan makna. Quarter-life crisis adalah undangan untuk menemukan makna baru — bukan dalam pencapaian, tapi dalam proses menjadi.

Kamu tidak harus “jadi sesuatu” sebelum usia 30. Kamu hanya perlu jadi versi dirimu yang lebih sadar.


Kesimpulan: Quarter-Life Crisis Sebagai Titik Balik

Quarter-life crisis adalah fase pencarian. Ia bukan tanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa kamu sedang tumbuh. Ia mengajakmu untuk berhenti, bertanya, dan menyusun ulang arah hidup dengan lebih jujur.

Namun, tidak semua kebingungan usia 25 adalah tanda pencarian arah. Ada yang justru menolak tumbuh secara aktif — karena dewasa terasa seperti ancaman.

Di artikel berikutnya, kita akan membahas sindrom yang membuat kedewasaan terasa menakutkan, dan bagaimana mengenalinya dalam diri sendiri. Kita akan menyelami dinamika psikologis di balik resistensi terhadap tanggung jawab, komitmen, dan struktur hidup dewasa.

Karena menunda dewasa bukan hanya soal bingung. Kadang, ia adalah bentuk perlindungan diri yang belum selesai.

Leave a reply

DUKUNG KAMI

Dukung misi kami menghadirkan konten edukatif, reflektif, dan penuh semangat positif.
Anda bisa berdonasi langsung melalui tombol kontribusi Google di bawah ini.

DUKUNG KAMI

Dukung misi kami menghadirkan konten edukatif, reflektif, dan penuh semangat positif.
Anda bisa berdonasi langsung melalui tombol kontribusi Google di bawah ini.

Tetap terinformasi dengan berita positif dan inspiratif.

Bersedia untuk menerima informasi dan berita dari DUS.ID melalui email. Untuk informasi lebih lanjut, silakan tinjau Kebijakan Privasi

DUS Channel
Search
RANDOM
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...

All fields are required.