Bayangkan seseorang berusia 30-an, masih tinggal bersama orang tua, menghindari komitmen, dan menjalani hidup seolah waktu tak pernah bergerak. Ia bukan pemalas, bukan pula tak berbakat. Tapi ada satu hal yang ia hindari dengan konsisten: menjadi dewasa.
Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup atau pilihan pribadi. Dalam psikologi, pola seperti ini dikenal sebagai Peter Pan Syndrome — sebuah kondisi di mana seseorang menolak tanggung jawab dan kedewasaan, meski usia sudah menuntutnya. Artikel ini akan mengajak kamu menyelami lebih dalam: apa itu Peter Pan Syndrome, dari mana asalnya, apa dampaknya, dan bagaimana kita bisa mengenali serta menghadapinya.
Sebelum kita masuk ke definisi dan analisis psikologis, mari kita kenali dulu wujud nyata dari Peter Pan Syndrome dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini bukan hanya soal “tidak dewasa” — ia adalah pola hidup yang tampak menyenangkan di permukaan, tapi menyimpan ketakutan dan penghindaran yang mendalam.
Peter Pan, tokoh fiksi ciptaan J.M. Barrie, hidup di Neverland—tempat di mana anak-anak tak pernah tumbuh dewasa. Dalam dunia nyata, Neverland bisa berupa kamar masa kecil yang tak pernah ditinggalkan, hubungan yang selalu gagal karena takut komitmen, atau pekerjaan yang terus berganti karena enggan menghadapi evaluasi.
Seseorang dengan Peter Pan Syndrome sering kali tampak menyenangkan, spontan, dan bebas. Ia bisa menjadi teman yang seru, pasangan yang penuh kejutan, atau kolega yang selalu punya ide segar. Namun di balik itu, ada ketakutan mendalam terhadap tanggung jawab, struktur, dan perubahan. Ia hidup dalam siklus impulsif, menghindari keputusan besar, dan bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan masalah hidupnya.
Pertanyaannya: Apa yang membuat seseorang menolak tumbuh?
Jawabannya tidak sesederhana “malas” atau “tidak siap”. Penolakan terhadap kedewasaan sering kali berakar pada pengalaman masa kecil, trauma, dan budaya yang memanjakan. Neverland bukan hanya tempat khayalan — ia bisa menjadi kondisi psikologis yang nyata dan berulang.
Untuk memahami Peter Pan Syndrome secara utuh, kita perlu menelusuri asal-usul istilah ini dan bagaimana ia berkembang dalam psikologi populer. Di bagian ini, kita akan melihat bagaimana mitologi Peter Pan berubah menjadi metafora psikologis yang relevan, serta mengenali ciri-ciri perilaku yang menyertainya.
Peter Pan bukan sekadar tokoh dongeng. Ia adalah simbol ketakutan kolektif terhadap kedewasaan. Dalam cerita J.M. Barrie, Peter Pan tinggal di Neverland — tempat di mana anak-anak tak pernah tumbuh dewasa. Ia menolak menjadi besar karena takut kehilangan kebebasan, spontanitas, dan identitasnya sebagai “anak-anak selamanya.”
Dalam kehidupan nyata, Neverland bisa berupa kamar masa kecil yang tak pernah ditinggalkan, hubungan yang selalu gagal karena takut komitmen, atau pekerjaan yang terus berganti karena enggan menghadapi evaluasi.
Istilah Peter Pan Syndrome pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Dan Kiley pada tahun 1983 melalui bukunya The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up. Meski tidak diakui secara resmi dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), pola ini sering muncul dalam praktik klinis dan konseling relasi.
Kiley awalnya mengamati pria dewasa yang secara usia telah matang, tetapi secara emosional dan perilaku masih terjebak dalam fase remaja. Seiring waktu, istilah ini meluas dan digunakan untuk menggambarkan siapa pun — pria maupun wanita — yang menunjukkan pola penolakan terhadap kedewasaan.
Peter Pan Syndrome bukanlah gangguan mental yang bisa didiagnosis secara klinis, melainkan pola perilaku dan respons emosional yang berulang. Ia muncul sebagai bentuk penolakan aktif terhadap kedewasaan — bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena ketakutan.
Beberapa ciri umum yang sering muncul:
Mereka mungkin berpindah-pindah pekerjaan, menghindari diskusi serius dalam hubungan, atau menolak membuat keputusan jangka panjang seperti menikah, membeli rumah, atau merencanakan masa depan.
Peter Pan Syndrome lebih khas karena penolakannya terhadap struktur dan komitmen, serta idealisasi masa muda sebagai satu-satunya fase hidup yang “aman.” Ia berbeda dari avoidant personality disorder yang didorong oleh ketakutan akan penolakan, atau dependent personality disorder yang cenderung ingin menyenangkan dan tidak menolak kedewasaan.
Mereka bukan tidak tahu bahwa mereka dewasa. Mereka hanya tidak tahu bagaimana menjadi dewasa tanpa kehilangan diri. Dan itu adalah dilema yang sangat manusiawi.
Memahami Peter Pan Syndrome bukan untuk menghakimi, tetapi untuk membuka ruang refleksi. Banyak dari kita mungkin memiliki sisi Peter Pan dalam diri — bagian yang takut berubah, takut gagal, atau takut kehilangan spontanitas.
Menjadi dewasa bukan berarti menjadi kaku atau membosankan. Justru, kedewasaan memberi kita ruang untuk memilih dengan sadar, mencipta dengan tanggung jawab, dan mencintai dengan kedalaman.
Setiap pola perilaku memiliki akar. Dalam bagian ini, kita akan menyelami faktor-faktor yang membentuk Peter Pan Syndrome — baik dari masa kecil, pengalaman traumatis, hingga pengaruh budaya dan struktur sosial. Tujuannya bukan untuk menyalahkan masa lalu, tapi untuk memahami bagaimana ia membentuk cara kita menghadapi masa depan.
Pola asuh yang terlalu melindungi membuat anak tidak belajar menghadapi tantangan atau membangun kemandirian. Ketika dewasa, mereka cenderung bergantung pada orang lain dan merasa dunia luar terlalu berbahaya untuk dihadapi sendiri.
Orang tua yang selalu “menyelamatkan” anak dari kesulitan secara tidak sadar menanamkan keyakinan bahwa dunia luar terlalu menakutkan untuk ditaklukkan sendiri.
Pengalaman masa kecil yang penuh tekanan, penolakan, atau ekspektasi tinggi bisa membuat seseorang takut mencoba. Ia lebih memilih zona nyaman daripada risiko kegagalan. Dalam beberapa kasus, trauma seperti perceraian orang tua, kehilangan figur pengasuh, atau bullying bisa menciptakan ketakutan mendalam terhadap tanggung jawab dan relasi.
Ketakutan ini tidak selalu terlihat jelas. Ia bisa muncul dalam bentuk penundaan keputusan, penghindaran konflik, atau pencarian kesenangan instan sebagai pelarian.
Media sosial, budaya pop, dan gaya hidup modern sering kali memuja kebebasan dan spontanitas. Dewasa dianggap membosankan, penuh beban, dan kehilangan “jiwa muda”. Akibatnya, banyak orang dewasa muda memilih menunda tanggung jawab demi mempertahankan citra remaja.
Fenomena seperti “kidult” (adult behaving like a kid), “soft adulting”, dan “forever young” menjadi tren yang memperkuat pola ini. Bahkan industri hiburan dan fashion ikut mendukung estetika remaja sebagai ideal.
Sulitnya akses terhadap rumah, pekerjaan tetap, dan stabilitas finansial membuat banyak orang merasa belum “siap” menjadi dewasa. Peter Pan Syndrome bisa menjadi respons terhadap dunia yang tampak tidak ramah bagi kedewasaan.
Ketika sistem sosial tidak mendukung transisi dewasa, penundaan menjadi pilihan yang tampak rasional. Dalam konteks ini, Peter Pan Syndrome bukan hanya kondisi psikologis, tapi juga refleksi sosial.
Setelah memahami akar dan gejalanya, kita perlu melihat bagaimana Peter Pan Syndrome memengaruhi kehidupan nyata. Sindrom ini bukan hanya soal gaya hidup atau preferensi pribadi — ia berdampak langsung pada relasi, karier, dan struktur hidup seseorang. Dampaknya bisa halus dan tersembunyi, atau terasa jelas dan mengganggu. Dalam bagian ini, kita akan menyelami tiga ranah utama: hubungan romantis, dunia kerja, dan pengelolaan hidup sehari-hari.
Hubungan dengan individu yang mengalami Peter Pan Syndrome sering kali tidak seimbang. Pasangan mereka kerap berperan sebagai “pengasuh” atau “penyelamat”, bukan sebagai mitra setara. Ketika hubungan mulai menuntut komitmen atau tanggung jawab, mereka cenderung menghindar, menunda, atau memutuskan hubungan secara impulsif.
Di awal, mereka bisa sangat ekspresif dan romantis — penuh kejutan dan spontanitas. Tapi ketika relasi mulai memasuki fase kedewasaan emosional, seperti membicarakan masa depan, menetapkan batas, atau menghadapi konflik, mereka sering kali menarik diri. Komunikasi menjadi tidak matang, kebutuhan pasangan diabaikan, dan konflik disikapi dengan penghindaran atau ledakan emosional.
Relasi semacam ini bisa melelahkan bagi pasangan yang berharap tumbuh bersama. Ketimpangan peran menciptakan frustrasi, dan idealisasi cinta remaja membuat hubungan sulit berkembang ke arah yang sehat.
Dalam dunia kerja, individu dengan Peter Pan Syndrome cenderung menghindari struktur yang menuntut konsistensi, evaluasi, atau target jangka panjang. Mereka mungkin memiliki banyak potensi dan kreativitas, tetapi kesulitan bertahan dalam sistem kerja yang menuntut kedewasaan profesional.
Pekerjaan yang menuntut tanggung jawab terasa menakutkan atau membosankan. Mereka lebih nyaman dengan pekerjaan fleksibel, proyek jangka pendek, atau jalur yang tidak menuntut evaluasi. Ketika menghadapi tekanan, kritik, atau konflik di tempat kerja, mereka bisa mundur, berpindah pekerjaan, atau menyalahkan sistem.
Akibatnya, karier mereka sering kali stagnan atau tidak berkelanjutan. Mereka kesulitan membangun reputasi profesional, mengembangkan keterampilan jangka panjang, atau meraih stabilitas finansial.
Peter Pan Syndrome juga memengaruhi cara seseorang membangun hidupnya. Mereka kesulitan mengelola waktu, keuangan, dan emosi. Hidup dalam siklus “hari ini dulu” tanpa perencanaan atau refleksi menjadi pola yang berulang.
Keputusan besar seperti membeli rumah, merencanakan pensiun, atau membangun keluarga terasa seperti ancaman. Mereka mungkin menunda hal-hal penting, menghindari tanggung jawab administratif, atau hidup dalam ketergantungan pada orang lain.
Struktur hidup yang rapuh ini membuat mereka rentan terhadap krisis — baik emosional, finansial, maupun sosial. Dan karena mereka cenderung menyangkal masalah atau menyalahkan lingkungan, proses pemulihan menjadi lebih sulit.
Setelah memahami gejala dan dampaknya, kita sampai pada titik refleksi. Peter Pan Syndrome bukanlah kesalahan moral. Ia adalah respons terhadap kondisi psikologis dan sosial yang kompleks. Dalam bagian ini, kita diajak untuk melihat ke dalam diri — bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyadari.
Menyadari bahwa kita memiliki kecenderungan Peter Pan bukan berarti kita gagal. Justru, kesadaran adalah langkah pertama menuju perubahan. Banyak dari kita mungkin memiliki sisi Peter Pan dalam diri — bagian yang takut berubah, takut gagal, atau takut kehilangan spontanitas.
Pertanyaan reflektif yang bisa kita ajukan:
Refleksi semacam ini membantu kita mengenali pola yang tidak sehat, dan mulai membangun struktur hidup yang lebih dewasa — tanpa kehilangan esensi diri.
Menjadi dewasa bukan berarti menjadi kaku atau membosankan. Justru, kedewasaan memberi kita ruang untuk memilih dengan sadar, mencipta dengan tanggung jawab, dan mencintai dengan kedalaman.
Kita bisa tetap spontan, kreatif, dan penuh semangat — tanpa harus menghindari tanggung jawab. Kedewasaan emosional bukan tentang menjadi “serius sepanjang waktu”, tapi tentang mampu menghadapi hidup dengan keberanian, refleksi, dan struktur yang sehat.
Peter Pan Syndrome adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa menjadi dewasa bukan hanya soal usia, tapi soal keberanian menghadapi hidup dengan kesadaran dan tanggung jawab. Dan keberanian itu bisa dibangun — dengan refleksi, dukungan, dan komitmen untuk tumbuh.
Peter Pan Syndrome bukan sekadar penolakan terhadap tanggung jawab — ia adalah jeritan batin yang takut kehilangan spontanitas, identitas, dan rasa aman. Ia tumbuh dari pengalaman masa kecil, trauma yang tak terucap, dan budaya yang memuja kebebasan tanpa batas. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang sering terlupakan: bahwa menjadi dewasa bukan berarti mengkhianati diri sendiri.
Menunda kedewasaan bisa terasa seperti perlindungan. Tapi jika dibiarkan, ia berubah menjadi penjara. Penjara yang membatasi relasi, merusak struktur hidup, dan membuat kita terjebak dalam siklus penghindaran. Kita mungkin merasa aman di dalamnya, tapi dunia terus bergerak. Dan jika kita tidak ikut tumbuh, kita akan tertinggal — bukan secara usia, tapi secara makna.
Menjadi dewasa bukan tentang menyerah pada sistem atau kehilangan jiwa muda. Ia adalah proses membangun struktur yang mendukung kebebasan sejati. Kedewasaan emosional memberi kita kemampuan untuk memilih dengan sadar, mencipta dengan tanggung jawab, dan mencintai dengan kedalaman. Ia bukan akhir dari spontanitas, tapi awal dari kebebasan yang berakar.
Peter Pan Syndrome menggambarkan penolakan aktif terhadap kedewasaan, terutama pada dewasa muda. Tapi ada fenomena lain yang lebih luas dan lebih diam-diam: adultolescence. Ia bisa dialami oleh siapa saja, bahkan mereka yang sudah berusia 30, 40, atau 50 tahun — orang-orang yang tidak menolak dewasa, tapi belum benar-benar sampai ke sana. Di artikel berikutnya, kita akan masuk ke dunia dewasa yang memiliki pola pikir yang belum matang secara emosional dan kognitif.