Peter Pan Syndrome menggambarkan penolakan aktif terhadap kedewasaan, terutama pada dewasa muda. Tapi ada fenomena lain yang lebih luas dan lebih diam-diam: adultolescence. Ia bisa dialami oleh siapa saja, bahkan mereka yang sudah berusia 30, 40, atau 50 tahun — orang-orang yang tidak menolak dewasa, tapi belum benar-benar sampai ke sana.
Adultolescence adalah transisi yang tertunda. Bukan karena malas, bukan karena tidak tahu arah, melainkan karena dunia modern menghadirkan tantangan yang membuat kedewasaan tak lagi linear. Banyak orang dewasa secara biologis masih hidup dengan pola remaja: bergantung secara finansial atau emosional, menghindari komitmen jangka panjang, dan belum membangun struktur hidup yang stabil.
Artikel ini mengajak kita menyelami fenomena adultolescence secara sosial, psikologis, dan budaya. Kita akan menggali akar, gejala, dan dampaknya, serta membuka ruang refleksi: bagaimana membangun kedewasaan yang relevan di dunia yang terus berubah — tanpa harus memaksakan versi kedewasaan yang usang.
Bayangkan seorang perempuan berusia 42 tahun. Ia bekerja sebagai konsultan lepas, punya penghasilan yang cukup, dan aktif di media sosial. Namun ia masih tinggal bersama orang tuanya, menghindari relasi yang berkomitmen, dan menghabiskan akhir pekan dengan belanja impulsif dan binge-watching. Ia bukan anak-anak. Tapi ia belum sepenuhnya dewasa.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak orang dewasa — bukan hanya dewasa muda — hidup dalam pola serupa. Mereka memiliki tanggung jawab parsial, namun belum membangun struktur hidup yang berkelanjutan. Ada perasaan stagnan, kebingungan arah, dan ketergantungan yang tidak terlihat dari luar.
Pertanyaannya: Apakah kedewasaan selalu datang bersama usia? Atau justru, kedewasaan kini menjadi proses yang lebih kompleks, personal, dan penuh tantangan baru?
Jika Peter Pan Syndrome adalah penolakan aktif terhadap kedewasaan, maka adultolescence adalah penundaan yang pasif namun berlarut. Ia bukan bentuk pembangkangan, melainkan cerminan dari dunia yang membuat kedewasaan menjadi proses yang tak lagi jelas ujungnya. Banyak orang dewasa — bahkan yang sudah berusia matang — menemukan diri mereka masih hidup dalam pola remaja: bergantung secara finansial, menghindari komitmen, dan belum membangun struktur hidup yang berkelanjutan.
Istilah adultolescence pertama kali muncul dalam kajian sosiologi dan psikologi perkembangan untuk menggambarkan fase dewasa yang belum sepenuhnya menjalani peran dewasa. Ini bukan gangguan mental, melainkan fenomena sosial yang makin umum, terutama di masyarakat urban dan digital. Ia mencerminkan perubahan struktur ekonomi, budaya, dan psikologi yang memengaruhi cara kita tumbuh dan membentuk identitas.
Berbeda dari Peter Pan Syndrome yang sering muncul pada dewasa muda dan bersifat defensif, adultolescence bisa dialami oleh siapa saja yang merasa “terjebak” di antara dua dunia. Seseorang bisa sadar bahwa ia belum sepenuhnya dewasa, bahkan merasa frustrasi, tapi tetap tertahan karena tekanan eksternal atau kebingungan internal. Kedewasaan, dalam konteks ini, bukan sesuatu yang ditolak — melainkan sesuatu yang belum berhasil diraih.
Fenomena adultolescence bukan sekadar gaya hidup yang terlihat muda, melainkan pola eksistensial yang menyentuh cara berpikir, merespons tanggung jawab, dan membentuk arah hidup. Gejalanya bisa muncul dalam berbagai bentuk, baik yang kasat mata maupun yang subtil secara psikologis:
Di balik semua gejala di atas, ada satu akar yang sering luput: pola pikir yang belum matang secara emosional dan kognitif. Ini bukan soal bersikap ceria, santai, atau playful — karakteristik yang justru bisa menjadi bagian sehat dari kepribadian dewasa. Yang dimaksud di sini adalah cara berpikir yang belum siap menghadapi kompleksitas hidup dewasa: ketidakpastian, tanggung jawab jangka panjang, dan dilema moral yang tidak selalu punya jawaban hitam-putih.
Pola pikir kekanakkanakan ini sering kali ditandai oleh:
Pola pikir ini bukan sesuatu yang harus disalahkan, tapi perlu disadari. Ia bisa terbentuk karena pengalaman masa kecil, tekanan sosial, atau bahkan karena dunia modern yang terus mendorong kita untuk tetap muda, bebas, dan tidak terikat. Tapi jika dibiarkan, ia bisa menjadi akar dari stagnasi yang panjang — di mana usia terus bertambah, tapi arah hidup tetap kabur.
Mengapa adultolescence makin umum? Karena dunia modern tidak lagi menyediakan jalur lurus menuju kedewasaan. Beberapa faktor pemicunya antara lain:
Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan lanskap kehidupan yang tidak ramah bagi struktur dewasa konvensional. Maka, adultolescence bukan hanya fenomena individu, tapi juga cerminan dari sistem sosial yang berubah.
Meski adultolescence bisa menjadi fase eksploratif yang kaya, ia juga menyimpan risiko jika berlangsung terlalu lama:
Zona nyaman ini bisa menjadi jebakan jika tidak disadari. Kita merasa aman karena tidak harus mengambil keputusan besar, tapi di balik itu, ada stagnasi yang menggerogoti rasa percaya diri dan arah hidup.
Adultolescence bukan kegagalan. Ia adalah cerminan dunia yang berubah. Maka, solusi bukan memaksakan kedewasaan versi lama, tapi membangun struktur hidup yang relevan dengan nilai dan konteks pribadi.
Mari bertanya pada diri sendiri:
Kedewasaan bukan soal usia, tapi soal keberanian membangun hidup yang bermakna dan berkelanjutan. Ia dimulai dari pola pikir yang reflektif, dari struktur hidup yang dipilih dengan sadar, dan dari komitmen untuk tumbuh meski dunia terus berubah.
Di artikel berikutnya, kita akan menyelami bagaimana membangun kedewasaan emosional di era serba instan — sebuah fondasi penting untuk keluar dari zona adultolescence dan membentuk hidup yang lebih utuh.