Setiap hari, kita dibanjiri oleh deru informasi—sebuah gelombang tak berkesudahan yang menjanjikan hiburan dan pengetahuan instan. Kita menggulir linemasa media sosial, tertawa melihat meme, menonton video prank yang memicu tawa, meneruskan gambar dan video viral di grup percakapan, atau sekadar membaca judul berita yang memprovokasi. Semua itu terasa mudah, menghibur, dan membuat kita merasa terkoneksi dengan dunia. Namun, di balik semua keramaian ini, ada bahaya tersembunyi yang mengancam hal paling berharga yang kita miliki: kedalaman berpikir dan wawasan kita.
Inilah perbedaan mendasar antara sekadar tahu (memiliki informasi yang melimpah) dan menjadi bijaksana (memiliki pemahaman mendalam).
Fenomena ini diperparah oleh kebiasaan yang sudah mengakar: malas membaca. Dari pengamatan sehari-hari, orang yang enggan meluangkan waktu untuk membaca sering kali memilih jalan pintas. Mereka lebih suka bertanya kepada teman atau mengandalkan informasi yang mereka dengar sekilas. Ironisnya, proses transfer informasi dari mulut ke mulut ini sering kali dimulai dari sumber yang tidak andal, terpotong, bahkan salah dimengerti. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana pemahaman dangkal melahirkan misinformasi, dan akhirnya merusak wawasan pribadi maupun kolektif.
Mengkonsumsi informasi hanya dari meme, info grafis satu kalimat, atau potongan video pendek ibarat memberi makan otak dengan junk food. Rasanya enak, mudah dicerna, dan memberikan sensasi kepuasan instan. Namun, kandungan nutrisinya sangat minim dan tidak memberikan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Dampaknya, kita menciptakan ilusi “tahu banyak” padahal pemahaman kita terhadap suatu isu sangat dangkal.
Fenomena ini bukanlah kebetulan. Berbagai platform dirancang untuk memperdagangkan perhatian kita. Setiap notifikasi, setiap meme lucu, setiap video pendek memicu pelepasan dopamin yang membuat otak kita ketagihan. Kita menjadi terbiasa dengan rangsangan cepat, sehingga sulit untuk mempertahankan fokus pada satu topik dalam waktu lama. Akibatnya, rentang konsentrasi kita menurun, dan kemampuan berpikir kritis kita menjadi tumpul. Kita tidak lagi terlatih untuk menganalisis argumen kompleks, mempertanyakan asumsi, atau mencari korelasi antar berbagai fakta.
Masalah ini bukan hanya soal apa yang kita konsumsi, tetapi juga bagaimana kita mengelola waktu luang yang terbatas. Setelah delapan jam tidur dan delapan jam bekerja/kuliah, kita hanya punya waktu sekitar delapan jam tersisa. Sayangnya, alih-alih menggunakannya untuk pengembangan diri, banyak dari kita justru mengalokasikan waktu berharga ini untuk konten dangkal dan aktivitas yang tidak produktif.
Konten dangkal adalah segala bentuk informasi yang dirancang untuk konsumsi cepat tanpa menuntut kita berpikir kritis atau berinvestasi secara mental. Bentuknya bisa berupa ringkasan berita tanpa konteks, opini yang tidak berdasar, atau video pendek yang memancing emosi sesaat. Sama halnya dengan konten dangkal, kecanduan bermain gim juga menjadi bentuk pelarian pasif yang sering kali mengisi waktu luang. Keduanya bisa mengikis waktu secara signifikan tanpa memberikan manfaat kognitif yang berarti, membuat kita terperangkap dalam siklus hiburan instan. Waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk membaca buku, mendalami hobi baru, atau belajar keterampilan, justru habis di depan layar. Kita mengorbankan kesempatan untuk berkembang demi pelarian sesaat.
Lalu, apa yang membedakan mereka yang berwawasan luas? Perbedaannya terletak pada kebiasaan mereka. Mereka tidak hanya meluangkan waktu untuk melakukan pembelajaran mendalam, tetapi juga memilih jenis informasi yang mereka konsumsi.
Di antara jutaan informasi yang kita jumpai setiap hari, penting untuk menyaring mana yang hanya sekadar memberi tahu dan mana yang benar-benar memberikan manfaat.
Membaca buku atau artikel panjang adalah proses yang aktif. Kita dipaksa untuk fokus, mengikuti alur argumen, dan menyerap informasi secara utuh. Proses ini melatih daya ingat, pemahaman, dan kemampuan analitis kita. Ia membangun pondasi pengetahuan yang kokoh, bukan sekadar tumpukan informasi yang rapuh.
Meskipun junk food informasi terasa nikmat, ia tidak akan pernah menyehatkan jiwa. Kepuasan yang kita cari hanya bisa ditemukan dalam perjalanan yang lebih dalam. Sudah saatnya kita merefleksikan kembali cara kita menggunakan waktu luang dan mengambil kendali atas perhatian kita.
1. Alokasikan waktu khusus untuk membaca. Jangan menunggu waktu luang untuk membaca, karena waktu itu sering kali tak pernah datang. Alih-alih, jadwalkan waktu membaca seperti Anda menjadwalkan pertemuan penting. Mulailah dengan langkah kecil, misalnya 15-20 menit beberapa kali seminggu. Lama-lama, membaca akan menjadi kebiasaan yang Anda nikmati dan tidak lagi terasa sebagai beban.
2. Pilih sumber informasi yang kredibel dan mendalam. Selain laporan investigasi, esai, dan buku non-fiksi yang mengupas tuntas suatu isu, Anda juga bisa mencari artikel berkualitas untuk dibaca. Misalnya, di DUS (https://dus.id), Anda dapat membaca atau mendengarkan artikel yang dilengkapi teknologi pembacaan teks, sehingga Anda bisa fokus menyimak dan mendalami ilmu.
3. Gunakan media sosial dengan bijak. Media sosial bukanlah musuh, tetapi kita harus menjadi penggunanya yang cerdas. Tetapkan batas waktu harian untuk mengonsumsi konten-konten online. Ganti kebiasaan scrolling tanpa tujuan dengan mengikuti akun-akun yang menawarkan pengetahuan mendalam, inspirasi, atau keterampilan baru. Dengan demikian, media sosial bisa menjadi alat yang mendukung pertumbuhan diri, bukan sekadar pelarian yang menghabiskan waktu.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Di tengah banjir konten yang dirancang untuk sekadar menghibur, kita punya kekuatan untuk memilih jalur yang berbeda. Pengetahuan kekinian (seperti berita, tren, dan isu terkini) memang penting agar kita tetap relevan. Namun, pemahaman mendalam yang membentuk wawasan sejati hanya bisa dibangun di atas fondasi pengetahuan permanen yang abadi.
Dengan menolak konsumsi informasi dangkal dan memilih untuk mendalami pengetahuan yang bermakna, kita tidak hanya meningkatkan wawasan, tetapi juga membangun fondasi diri yang kokoh. Fondasi yang takkan runtuh oleh derasnya arus tren sesaat, melainkan mampu menopang kebijaksanaan, pemahaman mendalam, dan kehidupan yang lebih kaya makna. Pilihan hari ini akan menentukan siapa diri kita di masa depan.
Baca juga: Jika Anda ingin mendalami bahasan ini lebih lanjut, berikut adalah beberapa artikel terkait yang bisa Anda baca: