Di balik gemerlap inovasi kecerdasan buatan (AI), dua raksasa teknologi yang dulu tampak bersatu kini mulai menunjukkan perbedaan arah yang tajam. Microsoft dan OpenAI—dua nama yang selama ini berdiri di garis depan revolusi AI global—kini berada dalam pusaran ketegangan strategis yang bisa menentukan nasib ekosistem teknologi masa depan.
Setelah bertahun-tahun saling menguatkan dalam sebuah kemitraan besar, gesekan kepentingan mulai terlihat. Microsoft yang bertindak sebagai penyokong infrastruktur dan OpenAI yang memimpin pengembangan model AI generatif seperti GPT, kini tampaknya menimbang ulang posisi dan prioritas masing-masing. Apakah ini awal dari perpecahan besar? Atau justru titik balik menuju ekosistem AI yang lebih seimbang dan kompetitif?
Ketika Microsoft menyuntikkan lebih dari $13 miliar ke OpenAI, dunia menyaksikan kemitraan yang tampak ideal: satu pihak menyediakan kekuatan komputasi dan infrastruktur awan raksasa, pihak lainnya fokus mengembangkan model-model AI yang mengubah wajah internet—termasuk GPT dan Copilot yang kini menyatu dalam ekosistem Microsoft 365.
Lewat integrasi tersebut, Microsoft melesat di pasar produktivitas, memperkenalkan Copilot di Word, Excel, hingga GitHub. Di sisi lain, OpenAI mendapatkan akses ke Azure dan pengguna global dalam skala yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dunia melihat ini sebagai langkah cerdas—hampir simbiosis.
Namun, di balik layar, retakan mulai muncul.
Sumber internal dan laporan investigasi menyebut bahwa OpenAI kini ingin mengakhiri eksklusivitas teknis dengan Microsoft. Langkah ini disebut-sebut sebagai bagian dari rencana OpenAI untuk memperluas pengaruhnya dan menghindari jerat antimonopoli.
Sementara itu, Microsoft menuntut pembagian pendapatan yang lebih tinggi—naik dari 20% ke 49%—sebagai kompensasi atas dukungan finansial dan teknis mereka. Hal ini menyulut gesekan yang lebih dalam, apalagi OpenAI mulai mengembangkan infrastruktur sendiri (seperti proyek Stargate yang didukung SoftBank) dan merintis jalan keluar dari ketergantungan pada Azure.
Muncul pula isu transformasi struktur organisasi OpenAI, dari organisasi nirlaba terbatas ke entitas yang lebih korporatis. Pergeseran ini menimbulkan kekhawatiran tentang integritas misi awal OpenAI: “menjaga AI tetap aman dan bermanfaat untuk seluruh umat manusia.”
Seiring kabar pergeseran arah OpenAI, Microsoft pun tak tinggal diam. Raksasa teknologi ini telah mengambil langkah preventif dengan mengembangkan model AI internal bernama MAI (Microsoft AI)—sebuah upaya ambisius untuk membangun fondasi kecerdasan buatan tanpa bergantung penuh pada OpenAI.
MAI disebut memiliki skala besar dengan 500 miliar parameter, dan telah mulai diuji secara terbatas di berbagai produk Copilot mereka. Ini merupakan sinyal bahwa Microsoft bersiap menghadapi kemungkinan retaknya kolaborasi dengan OpenAI.
Tak hanya itu, Microsoft juga bereksperimen dengan model dari pihak ketiga seperti xAI, Meta, dan DeepSeek sebagai bagian dari strategi diversifikasi. Dalam waktu dekat, mereka berencana merilis MAI sebagai API publik, membuka akses luas bagi pengembang global.
Langkah ini menandai transformasi Microsoft dari sekadar mitra distribusi GPT menjadi aktor independen yang membangun ekosistem AI sendiri—manuver yang memperkuat posisi tawar dan menegaskan kesiapan menghadapi era post-OpenAI.
Jika kolaborasi ini benar-benar runtuh, dampaknya bisa menjalar ke banyak lini:
Menariknya, pergeseran ini bukan semata-mata konflik. Bisa jadi ini adalah tanda kedewasaan ekosistem AI, yang mulai mencari struktur baru untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Ketika inovasi semakin cepat dan adopsi AI menyentuh ranah publik, wajar jika aktor-aktor utama ingin mengatur ulang posisi mereka—lebih setara, lebih mandiri.
Dan dari perspektif masyarakat luas, ini menjadi momen penting untuk mempertanyakan: siapa yang seharusnya mengendalikan arah teknologi yang berpotensi mengubah struktur sosial, ekonomi, bahkan psikologis manusia?
Perjalanan Microsoft dan OpenAI adalah pengingat bahwa teknologi besar tidak pernah netral. Di balik janji produktivitas dan efisiensi, ada pertarungan filosofi, kepemilikan, dan tujuan jangka panjang.
Apakah mereka akan berdamai dan memperkuat visi bersama? Ataukah kita akan melihat era baru rivalitas kreatif yang menghasilkan inovasi dari sisi berlawanan?
Yang pasti, dunia sedang menyaksikan. Dan masa depan AI akan sangat bergantung pada bagaimana persimpangan ini diambil.