Mengapa banyak yang menganggap sebagian Gen Z kurang tangguh atau gampang menyerah? Fenomena ini seringkali disebut sebagai “generasi salju”—istilah yang menggambarkan rapuhnya mental mereka saat menghadapi kesulitan. Namun, apakah ini hanya sekadar stereotip, atau ada penjelasan ilmiah di baliknya?
Jawabannya tersembunyi di dalam data. Jika Anda membaca artikel sebelumnya, “Ponsel Terbukti Mengubah Kepribadian dan Otak Anda – Ini Sains, Bukan Sekadar Opini“, yang bisa Anda temukan di tautan ini, Anda akan tahu bahwa penggunaan smartphone secara masif telah mengubah inti kepribadian kita. Penemuan ini bukan opini belaka, melainkan fakta yang didukung oleh grafik Financial Times dan studi ilmiah. Pergeseran kepribadian ini adalah akar dari fenomena kurangnya resiliensi, dan dampaknya paling terlihat pada Generasi Z (lahir sekitar 1997-2012) yang tumbuh bersama teknologi.
Untuk memahami mengapa sebagian Gen Z kurang resilien, kita perlu kembali pada dua dimensi kepribadian dari “Big Five” yang mengalami perubahan paling drastis: Neuroticism dan Conscientiousness.
Kurangnya resiliensi pada sebagian Gen Z bukanlah kegagalan personal, melainkan konsekuensi logis dari lingkungan tempat mereka tumbuh. Studi ilmiah, seperti yang dipimpin oleh Adrian F. Ward, menunjukkan bahwa kehadiran smartphone saja sudah cukup untuk mengurangi kapasitas kognitif—sebuah fenomena yang dikenal sebagai brain drain. Otak kita terus-menerus harus menahan godaan untuk memeriksa ponsel, menyisakan lebih sedikit sumber daya untuk fokus dan ketekunan.
Lebih dari itu, media sosial memicu perbandingan sosial yang konstan dan merusak. Paparan tanpa henti terhadap “kehidupan sempurna” orang lain menciptakan standar yang tidak realistis dan memicu fear of missing out (FOMO). Kondisi ini mengikis rasa percaya diri dan membuat seseorang lebih rapuh saat menghadapi realitas yang tidak seideal di dunia maya. Lingkungan digital juga menghilangkan kesempatan untuk belajar bernegosiasi, berempati, dan menyelesaikan konflik.
Mekanisme Dopamin yang Terus Minta “Lagi”. Penelitian oleh Dr. Antoine Bechara dari USC menemukan bahwa smartphone memicu pelepasan dopamin di otak, mirip dengan cara obat-obatan adiktif bekerja. Setiap notifikasi, like, atau komentar adalah dosis dopamin instan. Otak kita pun menjadi terbiasa dengan “hadiah cepat” ini, yang pada akhirnya mengurangi kemampuan kita untuk menoleransi ketidaknyamanan atau menunggu hasil jangka panjang.
Resiliensi dan ketangguhan adalah cerminan dari lingkungan tempat kita tumbuh. Pergeseran kepribadian drastis yang terlihat pada grafik penelitian dapat dipahami sebagai akibat dari tingkat paparan terhadap dunia digital yang berbeda-beda.
Inilah mengapa dampak teknologi, terutama pada resiliensi, paling terlihat pada Gen Z. Mereka tumbuh di lingkungan yang mengikis sifat-sifat penting untuk ketangguhan.
Mengapa sebagian Gen Z kurang resilien? Jawabannya bukan karena mereka cacat atau malas, melainkan karena mereka adalah generasi pertama yang secara de facto dibentuk oleh revolusi digital. Lingkungan yang mengutamakan kepuasan instan dan perbandingan sosial telah mengubah struktur kepribadian mereka, mengikis sifat-sifat yang penting untuk ketangguhan.
Memahami hal ini adalah langkah pertama. Ini bukan tentang menghakimi, tetapi tentang mengakui bahwa teknologi memiliki biaya tersembunyi. Dengan kesadaran ini, kita bisa mengambil langkah proaktif untuk membangun kembali resiliensi, menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan interaksi tatap muka, dan melatih kembali otak untuk menghadapi tantangan, bukan menghindarinya.
Untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang topik ini, baca juga artikel terkait: